48. Auristela

313 37 0
                                    

Karena keributan pagi tadi kepala sekolah memanggilku langsung keruang BK untuk menemui Pak Haidar dan juga para guru konseling. Membuang-buang waktu batinku, saat sudah duduk berhadapan dengan beberapa guru konseling juga pak Haidar, jangan lupakan Mita dan kedua babunya yang duduk di sebrang dengan meja sebagai pembatas.

Kalian pasti akan merasa ingin mencakar wajah gadis bernama Meta yang sedang memampangkan wajah polosnya yang malah terlihat bodoh di mataku.

"Mungkin kamu sudah tahu alasan saya memanggil kamu kemari."

Aku hanya mengangguk mengiyakan.

"Saya mendapat laporan kamu membuat keributan disekolah pagi tadi. Jadi bisa jelaskan kepada saya apa yang sebenarnya terjadi?"

Kata kamu sudah menjelaskan dia memihak kepada siapa, jelas kepada anaknya. Aku tersenyum samar kemudian menatap kearah Meta yang masih menunduk layaknya korban.

"Bapak tidak mau mendengar penjelasan dari anak bapak?"

"Saya bertanya kepada kamu."

Kini giliran aku menatap kearah Pak Haidar tak kalah berani terkesan tidak sopan, tapi sekali lagi kesopanan tidak berlaku bagi orang yang mencoba menyudutkan keberadaan ku disaat aku tidak melakukan kesalahan.

"Saya menganggap anda sudah mendengar penjelasan Meta. Saya juga menyimpulkan bahwa anda juga mempercayai pernyataan dari sebelah pihak. Lalu untuk apa Bapak bertanya kepada saya?"

"Auristela jaga ucapan kamu." Sela Bu Ana selaku wali kelasku. Aku mengabaikannya. "Saya hanya berbicara sesuai fakta yang saya lihat." Sanggahku.

"Auris, Kamu sudah membuat keributan kamu masih menyanggah hal itu? Banyak saksi mata yang melihat dan mengadu kepada saya, jadi saya tidak hanya mempercayai ucapan Meta disini. Kamu juga terbukti salah karena telah melakukan kekerasan. Memar ditangan Meta adalah salah satu buktinya."

"Meskipun Meta anak saya, saya tidak pernah membeda-bedakan kalian. Sekalipun Meta bersalah maka saya juga akan menghukumnya sesuai dengan aturan yang berlaku disekolah ini."

Aku tersenyum mendengar ucapan penuh dusta dari mulut seorang yang seharusnya menjadi teladan bagi semua warga sekolah.

"Benarkah? Tapi yang terjadi tidak seperti yang anda ucapkan pak." Aku melihat wajah Pak Haidar yang mulai menunjukan sisi lainya, matanya menyorot tajam penuh arti kearahku. Aku tersenyum samar melihat hal itu.

"CCTV masih berfungsi kan Pak, Buk? Seharusnya tanpa kalian memanggil saya kemari. Kalian sudah bisa menyimpulkan apa yang terjadi. Untuk apa mendengarkan bukti dari mulut ke mulut jika ada bukti yang lebih akurat, tanpa adanya manipulasi." Aku menatap kearah Meta dan kedua temanya kemudian berganti melihat wajah Pak Haidar, melihat raut wajah berubah ubah mereka yang menyenangkan.

"Anda bicara soal kekerasan? Coba dicek dulu, siapa yang lebih dulu mengulurkan tangannya. Disitu saya hanya mengikuti naluri untuk mencoba melindungi diri saya dari serangan musuh, apakah saya salah?" Ucapku santai.

"Mengapa diam Pak?"

"Auris tindakanmu tidak dibenarkan. Jaga etika bicaramu."

"Maaf bu, tujuan saya disini bukankah kalian meminta kejelasan? Saya sudah menjelaskan kenapa kalian malah yang panik?" Aku terkekeh melihat raut mereka yang terlihat lucu, Bu Ana yang ketakutan jika masalah semakin besar. Sedangkan Pak Haidar sudah mengepalkan tangan menahan amarah.

"Auris."

"Sebentar Bu belum selesai."

"Anda berbicara soal keadilan ya Pak? Lalu mengapa Meta dan para teman-temanya masih berkeliaran bebas disekolah sedangkan kasus yang mereka perbuat tidak bisa dianggap remeh?"

AURISTELA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang