24. Auristela

576 45 5
                                    


Tubuh gadis yang semula terlihat tenang tiba-tiba saja bergerak gelisah, keringat bercucuran di dahinya, padahal ruangan ini dilengkapi pendingin ruangan yang terasa dingin.

Tanganya mencengkram erat brangkar tempatnya berbaring. Aku segera menghampiri Auris. Menepuk pipinya beberapa kali untuk menyadarkannya. Namun, gadis itu masih tetap bergerak gelisah.

"Auris."

Beberapa kali aku mencoba membangunkannya namun, hasilnya tetap nihil. Segera aku menekan tombol interkom untuk memanggil dokter. Tak lama dokter datang bersama dua perawat yang mengekor dibelakang.

"Apa yang terjadi? " Tanyaku panik. Dokter itu langsung memeriksa keadaan Auris.

"Apa dia memiliki trauma? " Aku mengerutkan keningku kemudian menggeleng, sebelumnya dan sampai sekarang aku tak mengenal Auris sama sekali. "Dialam bawah sadarnya mungkin kejadian dimasalalu tengah terlintas difikirannya. Bisa jadi itu berhubungan dengan kecelakaan yang menimpanya. Kita tidak bisa berbuat apapun kecuali menunggu pasien sadarkan diri. "

"Temani disa sampai sadar, jika terjadi sesuatu segera panggil kami. Kami tak bisa menunggu karena ada pasien yang harus kami periksa." Lanjutnya.

Tidak berguna

Setelah kepergian dokter bersama para perawatnya, aku menatap wajah ketakutan dari gadis itu. Aku mengusap peluh didahinnya, entah sejak kapan tanganku sudah menggenggam tangan yang terasa dingin itu.

Ada apa dengan gadis itu sebenarnya, mengapa banyak teka-teki yang harus diungkap. Mengapa gadis secantik dirinya memiliki begitu banyak hal rumit dalam hidupnya, ada apa dengan masalalu-nya. Apa mungkin kejadian masalalu-nya yang membuat gadis itu terkesan tertutup pada sekitar?

" Kakak. " Suara yang hampir mirip dengan bisikan itu mampu membuat aku tertegun beberapa waktu. Mulutnya mengeluarkan suara namun matanya masih tertutup dengan rapat, genggaman tangannya padaku semakin menguat samapi aku bisa merasakan kuku-kuku gadis itu yang menancap pada kulit tanganku.

" Kakak. "

Dia terus mengulang kata yang sama, setahuku dia tinggal sendirian. Aku tidak pernah melihat keluarganya selama tinggal didepan rumahnya, lalu siapa orang yang disebut kakak olehnya sampai membuat gadis itu mengigau dalam kondisi tak sadarkan diri. Sialan kau Auris, mengapa dirimu membuat kepalaku penuh dengan pertanyaan-pertanyaan yang aku tak tahu jawabanya.

Tapi sialnya aku juga menghawatirkan dirinya. Kamu adalah wanita kedua yang mampu membuat diriku sehawatir ini.

"Auris?" Panggilku agar dia segera membuka matanya, jika benar traumanya telah kambuh maka gadis itu pasti sangat ketakutan.

"Sadarlah, Auris. "

Aku terus menepuk pelan pipi putihnya, masih dengan harapan yang sama agar gadis itu segera membuka matanya.

"Kakak! " Nafas gadis itu tersenggal-senggal dengan jeritan pilu yang baru saja keluar dari mmulutnya. Kedua matanya terbuka dengan pandangan yang sulit diartikan, tak lama dari itu Auris menangis memeluk lututnya sendiri seolah seperti orang yang ketakutan.

"Tenangkan dirimu. "

Auris mendongak kedua mata indahnya menatap dalam ke arah mataku dengan tatapan penuh luka. Namun, tanpa aku duga gadis itu memeluku dengan begitu erat. Suara isak tangis yang semula mereda kini semakin terdengar memilukan. Apakah gadis itu sadar dengan perbuatanya?

AURISTELA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang