76. Baikan-2

16 5 3
                                    

Awan gelap mulai menyapa. Menyembunyikan sinar mentari yang sudah lelah dengan tugasnya. Agaknya, langit juga mulai ikut gelisah. Berkali-kali, Hans menarik nafas singkat, lalu membuangnya dengan sedikit gusar. Begitu terus. Berulang-ulang dari satu jam yang lalu.

Harusnya hasil dari pengadilan keluar hari ini. Namun, sedari pagi hingga senja seperti ini surat itu masih belum tiba di tangan Hans.

Hans takut. Takut hakim tidak bisa menerima kesaksian dari sang ayah. Pokoknya, sekarang Hans bener-bener lagi overthinking kayak perawan.

Ditambah lagi dengan keadaan apartemen nya yang sangat sepi dan juga hampa. Hanya ada dirinya disana. Seorang diri ditemani dengan  langit gelap di atas sana.

Tadinya Putra berniat datang kemari. Tapi, entahlah. Anak itu sekarang sudah banyak melakukan kebohongan. Bilangnya akan datang dan menemani Hans. Tapi, nyatanya dia lebih memilih pergi kencan dengan Ran.

Emang anak setan.

Eh, Hans dong setannya.

Mau minta ditemani John pun Hans ragu. Karena, anak itu pasti akan membuatnya menjadi semakin stress dengan segala tingkah ajaib nya.

Hans tuh kadang bertanya-tanya gitu. Di kehidupan sebelumnya dia tuh pernah melakukan salah apa sih sampai bisa-bisanya temenan bertahun-tahun sama John.

Yaudahlah ya. Capek banget Hans tuh.

JEDERR

Suara gemuruh petir mulai terdengar. Hans yang tadi sedang melamun di atas sofa langsung mengerjapkan matanya beberapa kali. Sedikit terkejut dengan suara petir yang tiba-tiba datang membuat lamunannya buyar.

Jendela yang terbuka di ujung ruangan mulai bergerak mengikuti hembusan angin yang semakin mengganas. Dengan cepat, Hans langsung berdiri dari duduknya untuk menutup jendela. Uh, udara dingin dari luar juga sudah mulai terasa.

Jujur, sebenarnya Hans rindu dengan kehangatan rumahnya, suara lembut istrinya, suara cempreng milik Milli, lalu Putra---ah, Hans sudah sering bertemu dengan Putra. Bahkan, hampir setiap hari.

Lagi-lagi Hans menghela nafasnya. Dia harus tahan dengan semua ini. Sebentar lagi. Tidak akan lama lagi dia akan kembali berkumpul dengan keluarga kecilnya yang hangat.

Tok Tok Tok

Hans menolehkan kepalanya ke belakang ketika mendengar ketukan pada pintu apartemennya. Alisnya menukik, berusaha mengingat apakah sebelumnya dia memesan makan atau tidak.

Ah tapi, Hans sama sekali tidak memesan makanan apapun. Dan sudah Hans bilang kalau Putra sedang pergi bersama Ran. Lalu, dengan John, anak itu pasti tidak akan mengetuk pintu. Kalaupun dia datang, pasti yang Hans dengar bukanlah suara ketukan di pintu. Namun, sebuah teriakan membabi buta dari teman laknat nya itu.

Hm, apakah itu Sekertatisnya? Tapi, jika iya, kenapa tidak menghubungi Hans terlebih dahulu?

TOK TOK TOK

Lah ngamok.

"Iya, tunggu sebentar!" Teriak Hans tak kalah sewot.

Dengan langkah cepat, Hans langsung membuka kunci apartemen nya untuk melihat siapa orang dibalik aksi sadisnya mengetuk pintu Hans.

Tanpa Hans kira, orang yang selama ini ia rindukan kini tengah berdiri tepat di depan dirinya dengan mata yang sangat jelas sedang menahan bendungan cairan bening di pelopaknya.

Wanita itu, Hana, istrinya kini sedang berdiri tepat di hadapannya. Sedikit tidak percaya sebenarnya. Tapi, ketika melihat bibir Hana yang sedikit bergetar dengan raut wajah sendunya membuat Hans percaya seratus persen kalau ini bukanlah mimpi.

DREAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang