44. Takdir

261 16 4
                                    

Hai Putra, murid baru

Hahaha, lo pasti kaget ya kenapa gue jadi dramatis gini sampai bikin surat segala. Maaf ya Put, hari ini kita gak bisa ketemu secara langsung. Yah, walaupun nanti lo bakal ketemu gue dalam keadaan yang--gitu lah.

Gue mau bilang terima kasih sama lo karena udah baaaaiikkkkkk banget sama gue. Selama hidup, gue belum pernah ketemu orang sebaik lo sama pak sam.

Maaf ya gue gak bisa bilang langsung sama lo, gue udah cukup sabar selama ini Put. Gue bener-bener udah gak kuat sama semuanya, dada gue rasanya udah gak sanggup nahan rasa sakit ini lagi Put, hehehe maaf ya.

Gue akui sesuatu, hari ini adalah hari dimana untuk pertama kalinya gue berucap kata lelah, capek, dan berbagai kata yang menggambarkan keputusasaan. Gue putus asa put, menyerah.

Gue sadar, selama ini gue selalu ngerepotin orang-orang, terutama elo put. Maaf dan terima kasih ya Put atas segalanya.

Gue gak bisa lama-lama nulis nih, tangan gue pegel. Jangan lupain gue ya Put, sebaliknya gue juga gak akan lupain lo. Gak akan pernah.

Surat ini mungkin akan mengakhiri komunikasi di antara kita, jadi simpan baik-baik ya Put surat ini. Dengan begini lo akan inget gue terus, iya kan?

Satu lagi, pulang ya Put, pulang ke jakarta. Rumah lo ada disana, gue tau walau jarak memisahkan kalian, semesta tidak mengizinkan jarak itu membuat takdir di antara kalian hilang. Temuin Ran ya, tolong sampaikan salam gue buat dia. Bilang, jagain malaikat penolong gue yang ganteng dan baik hati ini.

Oh iya, sampaikan salam gue buat pak Sam juga ya. Ada satu surat lagi yang nanti bakal gue titipin ke suster, itu buat ayah gue, lo jangan lupa kasih ke dia ya. Bagaimanapun gue sayang banget sama dia.

Sekali lagi, makasih ya Put.

Selamat tinggal.

Air mata Putra rasanya sudah kering untuk keluar, di genggamnya surat itu kuat-kuat diatas tumpukan tanah yang menjadi peristirahatan terakhir Raini.

Papan kayu yang bertuliskan nama Raini tertera jelas di samping Putra yang masih menunduk selama kurang lebih setengah jam yang lalu, dimana detik pertama Raini mulai beristirahat.

Semua orang sudah pulang lebih dulu dan meninggalkan Putra sendiri disamping tumpukkan tanah milik Raini. Banyak juga teman-teman sekolahnya yang datang untuk berkabung dan mengucapkan duka untuk Putra yang sudah di duga sebagai pacar dari mendiang.

Mata Putra sudah perih jika terkena angin. Dia laki-laki, dia tidak mau menangis dan mengeluarkan cairan bening itu. Lagi.

Mengingat kemarin dia baru saja menjumpai ayah Raini yang sedang berduaan bersama seorang wanita di rumahnya.

Dia ini memang tak ada pedulinya kah pada anaknya?  Barang sepersen pun tak ada?

Apalagi ketika Putra mulai memberi surat itu pada ayah Raini, rasanya kepala Putra memanas menahan emosi saat itu juga. Kalian tau apa yang dikatakan oleh ayah Raini?

Dia berucap, "pergi, saya tidak peduli sama sekali dengan anak itu. Mau dia mati sekali pun, saya tidak peduli"

Rasanya saat itu juga Putra ingin menghantam wajah menyebalkan itu. Tapi sayangnya Putra masih memiliki hati dan pemikiran yang jernih, tidak mungkin kan jika dia memukul seseorang yang lebih tua darinya? Apalagi itu adalah ayah dari Raini.

DREAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang