70. Pemicu kebencian

38 6 15
                                    

Keadaan rumah sakit pada hari ini bisa dibilang cukup ramai. Entah karena pengaruh musim pancaroba atau bagaimana, yang terpenting hari ini adalah hari tersibuk pada dokter di salah satu rumah sakit di ibu kota, Yogyakarta.

Beberapa suster terlihat lalu lalang, menerobos gerombolan keluarga pasien dengan tergesa-gesa. Hiruk pikuk rumah sakit ini hampir terlihat mirip dengan pasar yang ramai pengunjung.

Derap langkah kaki kesana kemari terdengar disetiap lorong rumah sakit. Terutama suara derap langkah kaki dari seorang pria dewasa yang sedang berlari dengan wajah khawatirnya.

Keningnya dibanjiri oleh peluh hingga basah. Dia sangat tergesa-gesa kemari setelah mendengar kabar dari ibu mertuanya kalau istrinya akan melahirkan anak kedua.

"Bu, bagaimana keadaan Jessie?" Tanya pria tersebut pada wanita tua yang sedang duduk tepat di depan ruang bersalin.

"Tenang lah Derry, Jessie sedang ditangani oleh dokter" balas wanita tua tadi.

Derry menghela nafasnya lega setelah mendengar balasan dari sang mertua. Merasa tenang karena istrinya sedang berada di tangan orang yang tepat.

Setelah setengah jam menunggu, akhirnya pintu bersalin pun terbuka dan langsung memperlihatkan seorang suster yang sedang berdiri dengan air muka sedihnya.

Derry terbangun dari duduknya, lalu mulai mendekat kearah suster yang masih berdiri tegang di ambang pintu ruang bersalin.

"Sus, bagaimana dengan istri dan anak saya?" Tanya Derry disertai dengan senyuman.

Namun, bukannya ikut tersenyum, suster itu malah menepuk pelan pundak Derry dengan pelan, masih dengan raut wajah sedihnya.

Derry terdiam, tidak mengerti apa maksud dari tepukan itu. Ah, lebih tepatnya Derry pura-pura tidak paham saja.

"Sus, mana istri saya?" Tanya Derry dengan suara yang melemah.

"Bapak tenang, ya? Istri bapak ada di dalam" balas sang suster sembari berbalik badan, berniat menunjukkan arah pada Derry.

Dengan langkah yang ragu, Derry mulai masuk kedalam ruangan bersalin yang bernuansa putih. Bau khas ruang operasi mulai menyeruak tercium oleh indera penciuman Derry.

Perasaan tak tenang mulai menyapa ketika mata Derry menangkap sebuah ranjang dengan seseorang di atasnya yang tengah menutup mata.

Derry berjalan pasti mendekati sosok yang sedang tertidur damai itu dengan perasaan kacaunya. Dia istrinya. Perempuan dengan darah campuran Indonesia dan Barat yang sedang tertidur damai itu adalah istri dari Derry.

"Sayang" panggil Derry lirih.

Dilihatnya kearah perut sang istri. Nampak kurus. Padahal tadi pagi masih terlihat besar karena sedang mengandung tujuh bulan.

Merasa istrinya tidak membalas panggilannya, Derry mulai menyentuh tangan sang istri dan menggenggam nya erat. Membiarkan rasa dingin yang dihasilkan oleh kulit sang istri menyapa telapak tangannya.

"Sayang bangun, yuk?" Ucap Derry pelan.

Masih tak ada jawaban dari sang istri. Derry ikut terdiam. Memilih untuk menatap wajah pucat sang istri yang masih memejamkan matanya dengan damai dan tenang.

"Pak, maaf jika harus mengatakan ini. Tapi, istri dan anak bapak tidak terselamatkan"

Derry menoleh kearah sampingnya. Menatap sang dokter yang baru saja tiba di samping Derry dengan wajah yang tak kalah sedih dari Derry.

Bisa dilihat, sang dokter masih menggunakan pakaian khas operasi dengan beberapa bercak darah di bajunya. Operasinya baru saja selesai.

Derry masih terdiam. Namun, matanya muali beralih menatap sang istri dengan tatapan sedih. Matanya pun mulai berkaca-kaca ketika sadar bahwa selama iya menggenggam tangan istrinya, dia sama sekali tidak menemukan atau merasakan denyut nadi dari sang istri.

DREAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang