42. bisakah?

261 20 0
                                    

"Put, gimana sama ujian kenaikan kelas nya?" Tanya Raini yang sekarang sedang duduk diatas kasurnya.

Sudah seminggu lebih dia belum pulang ke rumah di karenakan keadaannya yang terlalu buruk. Padahal, Raini bersikeras untuk pulang saja kerumah karena mengkhawatirkan ayahnya. Tapi, bukan Putra namanya jika tidak ikut keras kepala.

Dan lihat selama seminggu ini juga ayah Raini tidak mencari anaknya, tidak menjenguknya, tidak mengkhawatirkan nya. Sedangkan Raini, dia sangat khawatir dengan ayahnya.

Kepala Putra rasanya hampir pecah ketika mengingat betapa berat masalahnya akhir-akhir ini. Tangannya bergerak untuk memijat pelipisnya berharap pusing yang ia rasakan akan hilang.

Setelah melaksanakan ujian akhir semester yang baru saja selesai hari ini, seperti biasa Putra akan mengunjungi Raini dan menemaninya mengobrol sebisanya. Dia tak ingin Raini merasa kesepian.

"Yah gitu, pusing" jawab Putra seadanya. Kepalanya masih ia sandarkan pada sandaran sofa yang didudukinya.

Raini mengangguk dan tangannya sedikit meremas selimut yang membalut dirinya diatas ranjang. "Put, ayah apa kabar ya?"

Terdengar Putra mendesah pelan dan menegakkan kepalanya untuk lebih jelas melihat Raini. "Udah, lo gak usah mikirin hal yang gak penting dulu" jawab Putra yang memang benar adanya.

Raini hanya bisa diam. Dirinya tak bisa menahan air matanya setiap kali dirinya dan Putra membahas keberadaan sang ayah. Raini khawatir dengan ayahnya, hanya dia yang Raini punya sekarang.

Isakan kecil Raini terdengar hingga mengganggu indera pendengaran Putra. Putra juga tau jika Raini khawatir dengan ayahnya, tapi tidak bisakah Raini memikirkan dirinya sendiri dahulu sebelum dia mengkhawatirkan orang yang belum tentu mengkhawatirkan dirinya?

Putra sudah terlalu ikut campur memang, tapi tidak ada hal lain untuk membantu Raini selain Putra yang menjaga Raini sebisanya. Uang perawatan Raini pun ia dapat dari uang tabungannya, selagi Raini dan ayahnya tidak tau kan tak apa. Lagi pula, Putra masih bisa menabung nantinya.

"Rai, jangan lemah gini dong" ucap Putra yang sekarang sudah berdiri disamping Raini yang terisak. "Mungkin dia ada urusan, jadi gak sempat kesini"

Putra benar. "Tapi put, ini udah seminggu"

"Gue tau, tapi lo juga kan tau sendiri kalau gue udah telpon ayah lo hari itu"

Putra benar lagi. Hari itu Putra sempat menelfon ayahnya dan hanya dibalas dengan sentakan tidak mau tau dan bilang biarkan saja Raini seperti itu. Begitulah, jawaban dari ayah Raini lah yang membuat Putra marah. Setelah itu, nomornya sama sekali tidak bisa dihubungi lagi. Lalu, besoknya Putra bertekad pergi kerumah Raini untuk memberitahu ayahnya secara langsung. Tapi, rumah Raini kosong dan ayah Raini tidak ada didalamnya.

"Udahlah Rai, yang penting lo harus sembuh dulu" ujar Putra menangkan.

Raini menggeleng lemah, dia merasa semakin hari badannya semakin lemas. Bukannya semakin sehat, Raini malah merasa badannya seperti terkikis perlahan dari dalam. Bukan hanya Raini saja yang sadar akan hal itu, Putra juga menyadarinya. Bahkan, dokter sudah mendiagnosa kalau penyakit Raini sudah berada di tahap sulit disembuhkan.

"Bukan begitu Put, gue takut ayah gak ada disini waktu gue lagi butuh kehadirannya." Hening sejenak, Raini menghela nafasnya pelan. "Gue takut- ketika gue gak ada-"

"Gak akan ada yang pergi" potong Putra sebelum Raini menyelesaikan kalimatnya.

"Put, lo kan tau penyakit gue ini udah sulit di sembuhin. Jadi kemungkinan besar gue akan pergi cepat atau lambat" ujar Raini dengan penuturan yang terdengar sangat lemah.

DREAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang