Layar monitor bergantung yang menampilkan nama Hanna menandakan bahwa operasi masih berlangsung. Mata Chaka memandang jarum jam yang terus berjalan. Sudah satu jam lebih, tidak ada satupun dokter maupun perawat yang keluar dari dalam ruangan. Membuatnya cemas setengah mati hingga wajahnya memucat tanpa ia sadari.
Januar memberikannya sebotol air mineral. "Minum dulu Chak, muka lo pucat banget."
Tangan Chaka mengambil botol pemberian Januar. Ia sedikit kesusahan saat membuka tutup botol hingga harus dibantu Januar. Setelah meneguk air mineral, Chaka menaruh botol itu di sisinya lalu kembali termenung.
Januar hanya bisa menghela napas melihatnya.
Cowok itu beralih menatap Nasa yang juga sedang termenung menatap tong sampah di hadapannya. Di tangannya terdapat kantong kompres es batu untuk mengurangi rasa sakit pada leher akibat dicekik oleh pelaku sebelumnya. Air mata tiba-tiba mengalir, membentuk sungai-sungai kecil pada pipinya. Nasa menangis sesegukan dengan menenggelamkan wajahnya pada lutut.
Januar menghampiri cewek itu dan mengusap punggungnya.
"Seandainya gue ngedengerin saran lo, Hanna nggak akan terluka. Ini semua karena gue," ucapnya diiringi dengan isakan tangis.
Desusan keluar dari mulut Januar. "Jangan ngomong yang aneh-aneh. Ini salah pelaku. Tenang aja, kasus ini udah di tangan kepolisian. Bukti yang gue kasih barusan juga udah jelas banget. Untung tadi sore Kak Juan jadi ngambil video CCTV dari konferensi pers lo. Udah lo nggak usah khawatir, oke? Selama pelaku masih berkeliaran, gue akan selalu ada di sisi lo."
Pintu ruang operasi tiba-tiba terbuka. Chaka berdiri kemudian menanyakan keadaan Hanna pada dokter yang tengah melepas kacamatanya. Januar dan Nasa juga menunggu pernyataan dari sang dokter.
"Pasien berhasil melewati masa kritisnya karena mendapat pertolongan pertama yang tepat. Saat ini pasien tengah dibius total dan akan siuman dalam beberapa waktu ke depan. Kami akan memindahkan pasien ke ruang rawat inap biasa, dan akan lebih baik jika pasien dijaga oleh satu orang saja agar istirahatnya dapat maksimal."
Ketiga orang yang mendengar pernyataan tersebut menghela napas lega. Nasa membuka suara. "Oke. Tapi Dok, saya mohon pindahkan Hanna ke ruang rawat inap VIP."
Dokter yang tampak masih muda itu tersenyum. "Baik Mba Nasa, kami akan memberikan fasilitas yang terbaik untuk pasien."
Setelah mengucapkan terima kasih, Hanna dipindahkan oleh para perawat ke ruang rawat inap VIP sesuai dengan permintaan Nasa sebelumnya. Januar terkagum-kagum saat memasuki ruangan yang cukup luas layaknya kamar hotel. Ada kulkas, televisi, dispenser, pendingin ruangan, dan sofa empuk untuk para penjenguk yang datang.
Januar yakin, Nasa merogoh kocek lebih dalam hanya untuk membayar ini.
Para perawat pamit dari ruang rawat inap setelah mengantar Hanna. Nasa mendaratkan bokongnya pada kursi kosong di sebelah ranjang. Selang infus yang melekat pada tangan asistennya, membuat hatinya sakit. Seharusnya Nasa yang berada di posisi Hanna saat ini.
"Izinin gue buat jagain Hanna," ujar Chaka tiba-tiba. Tidak ada senyum yang biasanya ia tampilkan saat berbicara dengan Nasa.
Nasa terdiam dalam waktu yang cukup lama. Ia bertanya pada Chaka akan satu hal sebelum memutuskannya. "Lo nggak kuliah?"
"Gue bisa libur. Tolong izinin gue Nas. Please, please, please."
Melihat tatapan memohon dari Chaka membuat Nasa tidak dapat menolaknya. "Sebelumnya, maafin gue udah bikin Hanna terluka."
Chaka menatap sendu cewek yang terbaring lemah di atas ranjang. "Ini udah resiko dari pekerjaannya. Lo nggak perlu menyalahkan diri sendiri. Lo doain aja Hanna supaya dia cepet sembuh dan sebaiknya lo pulang Nas, istirahat. Tinggal aja di apartemen Januar untuk sementara waktu, lo udah melewati hari yang cukup berat hari ini, gue takut lo jatuh sakit."
KAMU SEDANG MEMBACA
Under Nasa's Spell
Teen FictionMemiliki banyak tato tidak harus dicap sebagai anak nakal. Januar Wiranda adalah contohnya. Walaupun banyak tato yang menempel pada lengannya, sikap Januar jauh berbeda dari penampilannya. Otaknya yang bisa dibilang cerdas, menjadi salah satu daya t...