Rumah bagi semua orang adalah tentang kehangatan. Sebagaimana nyaman yang dicari dapat ditemukan dengan pelukan sederhana. Papa tak pernah gagal menuangkan semua itu pada hal-hal sepele yang terkesan memberi bahagia. Sedangkan sosok-sosok yang berusaha ia hidupi dengan kasih sayang sempurna itu, selalu berterima kasih atas cerahnya hari esok.
Kehilangan istrinya setelah kelahiran anak terakhir membuat papa sempat patah semangat. Hidup yang ia kira akan berhenti tiba-tiba, justru berusaha memberitahu bahwa kesempurnaan bukanlah tentang genapnya patahan takdir. Oleh karena itu, daripada meringkuk pada kesedihan lalu. Papa sedang berusaha menanam benih bahagia untuk masa depan anak-anaknya.
Hidup sebagai single parent dengan empat anak tak terbilang mudah. Apalagi setelah menyadari bahwa semakin hari, semakin aneh saja isi rumah ini. Membuat papa harus bersabar oleh kelakuan anak-anaknya."Tuh, 'kan!"
Papa menghela nafas. Ia menahan diri agar tidak berangkat bekerja dengan mood yang buruk. Roti di meja terbelah menjadi dua, setelah tarikan paksa dari dua tangan yang tak segan berkelahi di meja makan sejak tadi.
"Salah Kak Yasa tuh. Jadi berantakan, 'kan." Bagas berteriak di meja makan. Si bungsu menatap sinis ke arah sosok kakak keduanya, setelah melirik roti lapisnya dengan nanar.
Si pemilik nama yang merasa tertuduh membelalakan matanya pada Bagas. Yasa kembali terduduk di kursi.
"Sudah-sudah, kalian berdua juga ngapain sih rebutan. 'Kan masih ada selai yang lain." Kali ini si sulung menengahi. Aksa memang selalu menjadi pelerai saat Yasa dan Bagas bercekcok.
"Tuh, Bagas." Yasa protes, seolah tak ingin ini semua menjadi salahnya
.
"Tumben banget selai kacangnya cepat habis," ucap Juan.Sementara kedua anak tertua dan si bungsu sedang cekcok. Juan, si anak ketiga yang asik memakan buah, justru mempertanyakan penyebab kegaduhan tersebut.
Jadi, setelah papa memberitahu bahwa selai kacang di rumah tersisa sedikit. Bagas dan Yasa yang bisa dikatakan menyukai roti selai kacang berebut pagi ini. Mereka saling menarik saat keduanya mengincar roti selai kacang secara bersamaan.
"Bagas tuh! Kamu sering nyemilin, 'kan?" tuduh Yasa.
"Dih, Kak Yasa juga!"
"Kamu lebih banyak!"
"Kak Yasa ya!"
"Kamu!"
"IH!"
"Chiki?" Juan mengerutkan alis saat melihat anjing peliharaannya melintas begitu saja di area meja makan. Mulut anjing putih itu di penuhi noda selai kacang hingga mengenai matanya.
Papa dan Aksa tertawa di ujung meja makan. Mereka berdua terheran-heran dengan kegaduhan bodoh yang baru saja terjadi. Apalagi kegiatan saling tuduh tadi, justru berakhir dengan fakta, bahwa penyebabnya adalah anjing milik Juan.
"Jadi dia yang ngabisin selai kacangnya?" tanya Yasa, sembari menunjuk ke arah anjing berjenis Bichon itu.
Juan melirik ke arah Yasa dan Bagas yang sudah memberikan tatapan mematikan pada anjingnya. Ia dengan segera berlari dan membawa Chiki ke dalam pelukannya. Pergelangan tanganya bahkan terkena sisa-sisa selai kacang. Sedangkan anjing di gendongannya malah sibuk menjilati kaki mungilnya.
"Bisa-bisanya dia nemu selai kacang. Lagian anjing macam apa sih, malah suka nyemilin selai kacang." Aksa terheran-heran dengan peliharaan adiknya.
"Anjing-anjing...." Bagas melirik sinis ke arah Chiki.
"Nggak boleh ngomong kasar," timpal Juan.
"Lah itu 'kan emang anjing. Masa aku bilang 'Monyet monyet...' itu mah kamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
𝙆𝘼𝙏𝘼 𝙎𝙀𝙈𝙀𝙎𝙏𝘼 ✔ [𝗣𝗿𝗼𝘀𝗲𝘀 𝗥𝗲𝘃𝗶𝘀𝗶]
Fanfiction[END] - TAHAP REVISI LENGKAP ✔ "Kalau kata Semesta, hidup dengan cara lebih keren adalah tetap tersenyum sekalipun rasanya begitu berantakan. Setidaknya dunia harus tau bahwa kamu belum menyerah." Ini tentang dia dan bahagia yang dicarinya Semes...