Rumah yang lain

1K 177 21
                                    

Sebuah langkah cepat menelusuri jalanan aspal di siang terik. Semesta merutuki diri karena sempat memilih bis dengan tujuan yang salah. Pagi tadi Zara memintanya ke rumah. Bunda berkata, perlu beberapa foto lagi untuk promosi produk yang akan dijual. Semesta tentu saja mengiyakan, lihat saja tas kamera yang sudah ia kalungkan di lehernya saat ini.

Itu adalah kamera pertama yang ia beli saat SMA dulu, hasil bekerja di toko roti bunda. Ia sempat kebingungan saat tak mendapat upah sepeser pun setelah bekerja selama tiga bulan. Hingga tiba-tiba saja bunda membawakan sebuah kamera baru untuknya. Padahal harganya tidak sebanding dengan gajinya selama bekerja di toko roti bunda.

“Aduh, udah jam satu,” gumamnya masih sembari berjalan ke arah rumah Zara.

Jarak halte bis dan rumah Zara memang tak terbilang dekat. Mungkin kalau dihitung-hitung itu akan memakan waktu selama sepuluh menit berjalan. Ia hanya tidak enak saja, padahal tadi Semesta berkata akan sampai di sana pada pukul dua belas siang.

Sejak beberapa menit yang lalu. Semesta sibuk menoleh ke arah belakang, saat merasa seseorang mengikutinya, setelah ia turun dari bis. Kak Langit tak bisa mengantarnya hari ini. Kakaknya berkata kalau sedang ada keperluan di luar kota. Membuat Semesta mau tidak mau harus menaiki bis kota, sebab sedang menghemat. Daripada memesan ojek online, selisih harganya lumayan untuk Semesta satu kali makan siang di kampus.

“Mas, itu tali sepatunya lepas.” seseorang menepuk bahu kanannya tiba-tiba.

Semesta yang mendengar itu kemudian melihat ke arah sepatunya. Saat ia sadar hari ini tak mengenakan sepatu dengan ikatan tali, pria di sampingnya tadi berhasil menarik tas ransel yang hanya ia selampirkan setengah. Berlari dengan cepat meninggalkannya.

“Loh? Tas aku! Woey!” Semesta berteriak kencang.

Sembari mengejar, ia meraih ponsel di saku celana yang beruntungnya tidak dimasukkan kedalam tas. Tas kamera yang berada di lehernya ia pegang erat, sembari berlari. Namun, sialnya sebuah batu berhasil membuatnya kehilangan keseimbangan. Dalam hitungan detik tubuhnya tersungkur di jalanan aspal panas siang itu.

“Awhh.” Siku yang menjadi tumpuan itu sudah terasa perih.

Baru saja ingin mengeluh karena terjatuh. Perhatian Semesta beralih pada tas kamera yang ia sadari juga ikut terjatuh. Dibukanya tas kamera itu, memeriksa kondisi kameranya yang sudah siap ia tangisi karena retak sebagian.

“Yah, kamera Semesta,” ucapnya lirih.

“Eh? Kamu nggak apa-apa?”

Seseorang berdiri di sebelahnya. Dilihatnya ke samping pada tangan yang terulur. Sosok pria dengan senyum sabit itu masih menatapnya.

“Perlu aku antar ke rumah sakit?” tanya sosok itu.

Semesta menggeleng cepat. Ia kemudian berdiri dan membersihkan pakaiannya yang kotor sebab terduduk di aspal.

“Nggak usah. Semesta cuma jatuh aja kok,” ucap Semesta.

“Nama kamu Semesta? Unik banget namanya. Oh iya, aku Aksa.” Pria yang baru saja menyebutkan namaya tersenyum.
Sementara Semesta—yang seolah tak tertarik pada perkenalan, tiba-tiba itu justru membuka ponselnya.

“Sebentar ya,” ucapnya pada Aksa.

Setelah dering nada ketiga. Ada suara lantang yang membuat Semesta terkejut.

“Semesta? Kok belum sampai? Kenapa telepon? Nggak bisa datang ya?”

Semesta yang diserbu pertanyaan betubi -tubi, justru menghela nafas.

“Satu-satu dong Zara tanyanya.”

“Iya-iya. Kamu di mana? Kok belum sampai?”

“Semesta masih di jalan. Habis kecopetan.”

𝙆𝘼𝙏𝘼 𝙎𝙀𝙈𝙀𝙎𝙏𝘼 ✔ [𝗣𝗿𝗼𝘀𝗲𝘀 𝗥𝗲𝘃𝗶𝘀𝗶]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang