Restoran favorit dekat kampus menjadi destinasi untuk makan malam sepasang kekasih tersebut. Awan yang selesai kelas lebih awal memutuskan untuk menjemput Cind, sebelum berakhir memakan nasi goreng yang sudah ia suap beberapa kali.
"Besok aku jemput jam berapa? Ada kelas pagi?"
Bukannya menjawab pertanyaan yang dilontarkan, Cindy justru sibuk memandangi Awan yang makan dengan lahap. Hingga nama yang biasanya ia dengungkan bersama panggilan sayang seketika bernada serius.
"Awan." Cindy mengunci perhatiannya pada Awan. "Kita udah mau tiga tahun ya, makasih banget."
"Sama-sama, sayang. Aku juga makasih banget kamu udah nemenin aku selama ini," ucap Awan dengan senyum cerahnya. Sendok itu diletakkan untuk menggenggam tangan wanitanya.
"Tapi, ada sesuatu yang mau aku omongin," ucap Cindy. Kali ini wajahnya yang terlihat gusar menatap Awan dengan sendu.
"Apa, hm?" tanya Awan lembut.
Cindy tampak berpikir. Banyak hal-hal yang ingin ia bicarakan dengan Awan. Atau mungkin cerita random tentang kesehariannya di kampus. Namun, kali ini, ia memiliki hal yang lebih penting dari itu.
"Kamu tau 'kan. Sebelum kita pacaran, aku dulu sering banget main ke rumah. Sekadar mampir buat bawain masakan mamah, atau kadang juga ngobrol aja sama kamu," ucap Cindy.
"Iya, hampir setiap hari malah 'kan dulu," ujar Awan menanggapi ucapan Cindy. Disaat bersamaan, pria itu mencoba menunggu maksud ucapan kekasihnya.
"Sering banget. Sampai aku akrab sama kakak dan adik kamu. Kita juga sering main bareng sama kak Langit sama Semesta," ucap Cindy.
Perempuan itu mengingat beberapa momen saat ia menghabiska waktu bersama kedua sudara laki-laki Awan. Bagaimana perasaan bahagia itu masih terasa hingga saat ini. Sekadar keluar mencari makan malam bersama, atau membelikan es krim cokelat untuk adik kekasihnya yang ia ketahui adalah pecandu cokelat.
"Kamu mau bilang apa? Nggak apa-apa langsung ke intinya aja," ucap Awan
Pria itu menyadari keragu-raguan di mata Cindy dan ia hafal betul, jika kekasihnya ini sedang ingin membicarakan hal yang terbilang sulit.
Cindy terdiam sejenak. Ia mengalihkan pandangannya yang sedari tadi menatap manik Awan. Menghela napas cukup berat, hingga tak berani menangkap tatapan penasaran Awan untuk topik selanjutnya. Tangan Cindy melepas genggaman Awan, membuat pria itu mengerutkan dahinya.
"Aku sayang sama kamu. Aku nggak bohong soal bahagia sama kamu selama ini. Tapi-" Ucapan Cindy berhenti tiba-tiba.
Ia masih ragu untuk mengungkapkan isi hatinya. Awan masih menunggu di sana, mencari tahu maksud semua basa-basi yang dibicarakan Cindy.
"Kamu orang baik Awan. Aku juga sayang banget sama kamu," ucapnya. Cindy kembali menghela napas. "Tapi ternyata aku sadar, setelah semua kebohongan yang aku tutupi selama ini dari kamu. Aku nggak bisa lagi."
Mendengar kata 'bohong' keluar dari bibir kekasihnya, Awan seketika gundah. Ia tak benar-benar tahu masalah yang membuat hubungan mereka seolah akan berakhir. Setahunya, belakangan ini mereka baik-baik saja. Tak ada cekcok kecil atau bahkan masalah sepele yang melanda.
"Aku sayang sama kamu sebagai teman, sebagai sahabat laki-laki aku. Aku berusaha naruh hati dan coba mencintai kamu sebagai laki-laki, tapi ternyata sulit." Air mata Cindy berderai; menjelaskan maksud yang terpendam dihatinya. "Maaf."
Kata maaf terkahir bagai panah yang berhasil menusuk tepat sasaran. Semuanya terlalu tiba-tiba untuk pengakuan ini. Terlalu buru-buru bagi Awan mengetahui bahwa Cindy tak pernah mencintainya, sebagaimana ia mencintai wanita itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝙆𝘼𝙏𝘼 𝙎𝙀𝙈𝙀𝙎𝙏𝘼 ✔ [𝗣𝗿𝗼𝘀𝗲𝘀 𝗥𝗲𝘃𝗶𝘀𝗶]
Fanfiction[END] - TAHAP REVISI LENGKAP ✔ "Kalau kata Semesta, hidup dengan cara lebih keren adalah tetap tersenyum sekalipun rasanya begitu berantakan. Setidaknya dunia harus tau bahwa kamu belum menyerah." Ini tentang dia dan bahagia yang dicarinya Semes...