17. Juliet?

446 51 28
                                    

Pria dengan surai peraknya mengombak diterpa angin. Musim semi sudah datang, hangat mentari membuat bunga bermekaran dengan langit yang bersinar cerah. Netra ungunya berputar, melirik sebuah sudut dengan nisan yang terpasang di atas rumput hijau.

Berlainan dengan langit yang cerah, wajah yang terpampang pada pria bermarga Scheinen tersebut hanyalah suram dengan pakaian serba hitam yang dikenakannya. Satu buket bunga mawar digenggamnya dengan kuat, hingga langkahnya luruh, bersimpuh di hadapan nisan bertuliskan mendiang sang istri. 'Azura Scheinen'.

"Maaf.., maaf, maafkan aku Azura. Aku gagal.., aku tidak layak menjadi pria yang kamu cintai..," gumaman terdengar dari mulut Ilios yang mulai gemetaran dengan netra yang mulai mengembun berjatuhan.

Memorinya mulai berputar pada masa lalu ketika istrinya pergi. Betapa dia tidak pernah memperhatikan anak-anaknya ketika masa berat keluarganya atas kepergian Azura. Bukan soal tidak sayang, apalagi benci terhadap putra-putrinya. Tapi sebab dia tidak kuat menatap kenangan terindah yang ditinggalkan sang istri.

Sebab besar cintanya pada Azura. Setelah kematian pujaan hati dia sama sekali tidak pernah memakai kamar yang digunakan bersama Azura. Bahkan setelah pemakaman wanita cantik tersebut. Dia bahkan harus menggunakan kamar lain, karena begitu tidak sanggup untuk mengingat sedikit pun mengingat memori tentang sang istri.

Namun semua usahanya untuk melupakan segala hal hanya menyebabkan dia abai terhadap putra-putrinya yang berprestasi dan seharusnya dia banggakan. Nyatanya dia malah acuh, bahkan terkadang lupa bahwa dia memiliki anak karena terlalu berfokus pada masa lalu yang terus mengikutinya seperti bayangan.

Karena sebagai pengalihan Ilios terus-menerus bekerja. Hingga lupa bahwa ada sesuatu yang harus dia didik dan jaga. Bahkan ketika mendengar kabar anak-anak. Itu seputar berita besar prestasi yang diperoleh sang buah hati. Ilios saat itu hanya bisa merespon dengan mengirimkan hadiah kecil serta kartu ucapan selamat. Dia sudah terlena dengan pekerjaannya dan menjadikan urusan keluarga bukan lagi prioritas, hingga sampai pada titik dia menjadi workaholic yang gila kerja.

Dia tidak begitu peduli dengan putra-putrinya yang mengemis perhatian dengan berbagai prestasi, dia hanya menganggap mereka adalah bayangan sang istri yang selalu membuat lukanya kembali terbuka dan menjadi kelemahannya yang harus dihindari.

Namun ada waktu segala hal mulai berubah, yakni ketika dia mendapat berita bahwa sang putri terkena musibah. Mungkin itu adalah kutukan yang Tuhan turunkan untuknya yang tidak pernah peduli pada keluarganya.

Saat itulah penyesalan, berbagai rasa kecewa tertimbun dalam hati Ilios meledak seperti bom waktu. Ucapan yang selalu Azura lontarkan semasa bersama, menggema di telinganya membuatnya jatuh dalam penyesalan tidak berdasar. "Aku suka pria kuat. Karena dia akan menjaga aku dan anak-anakku di masa depan dari bahaya," ujar Azura sebelum mereka menikah ketika dirinya menanyakan alasan kenapa wanita itu mau menikahinya.

Air mata mulai merembes dari sudut matanya membanjiri pipi, tangannya yang gemetaran menggenggam dengan erat sudut nisan, dadanya naik turun. Permintaan maaf terus dia gumamkan dengan tubuh lunglai bersimpuh di samping makam.

Rasa bersalah begitu dalam. Penyesalan, amarah, rindu, sakit menjadi satu. Sesungguhnya dia merasa tidak pantas mengunjungi makam mendiang istrinya dengan apa yang telah dia lakukan selama ini. Seorang ayah bodoh yang mengabaikan anak-anaknya hanya karena belum berdamai dengan kepergian belahan jiwanya. Bukankah dengan penuturan itu saja sudah menunjukkan kegagalannya sebagai ketua keluarga?

Gumaman permintaan maaf terus menggema hingga matahari mulai turun menuju petang. Dengan wajah memerah serta kedua mata yang sudah membengkak dengan banyaknya tangisan dia bangkit. Tangan kokohnya menyentuh nisan dan menciumnya penuh perasaan.

FlockenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang