Amaris berjalan melewati lapangan luas. Kini dia berada di Camp Kesatria Aencas, tepatnya di tempat pelatihan kesatria. Dari setiap sudut terlihat para kesatria sedang berlatih dengan giat. Peralatan tempur berjejer rapi, dengan berbagai jenis senjata.
Tempat ini adalah surga bagi para kesatria yang selalu menginginkan peralatan lengkap, serta fasilitas mumpuni yang memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari. Terlebih gaji yang besarnya bukan main-main. Menjadi Kesatria Aencas adalah sebuah mimpi yang selalu diinginkan para kesatria di luar sana.
Kembali berfokus pada pemuda bermarga Scheinen. Kini pemuda dengan iris semerah darah mendekati sahabatnya yang tengah melatih kesatria baru. Beberapa waktu menunggu, akhirnya pria dengan surai biru tua berbalik, menyapa Amaris dengan sinis.
"Hoi, bodoh. Datang juga kamu kemari. Bukankah dokumen-dokumen si*lan itu lebih penting untukmu dibanding apa pun?"
Amaris yang mendapat sindiran halus dari temannya tertawa kecil. "Ya, itu penting. Di banding itu aku mempunyai sesuatu yang lebih berharga." Pria yang berstatus sahabat Amaris bernama Leo itu melirik malas pada pemuda bersurai perak tersebut, sepertinya dia selalu kalah dengan pemuda itu jika sedang bertingkah manis.
"Oh, tentu. Aku adalah satu-satunya orang yang kamu miliki. Tentu saja aku berharga." Leo mengangkat bahu memasang wajah narsis. Bola mata pemuda Scheinen itu berputar malas, dengan perkataan menjijikkan tersebut. Walau begitu itu adalah fakta yang tidak bisa dibantah.
"Jadi bagaimana Tuan Scheinen yang tidak memiliki simpati? Apa yang kamu mau?" Leo menepuk bahu Amaris yang mulai melirik serius. "Aku mau pergi ke luar kota untuk sementara. Kamu ikut aku. Kita harus mengawal putri kerajaan."
Leo tersenyum cerah mendengar ucapan Amaris. Bagaimana juga bertemu putri kerajaan itu adalah kesempatan langka. Bisa saja ini adalah kesempatannya untuk membuat kisah asmara seperti novel romansa. Kali ini dia menepuk bahu sahabatnya keras. "Baiklah, Aku ikut. Ngomong-ngomong, apakah itu putri yang bertunangan denganmu?"
Amaris mengangguk, seakan sudah tahu apa yang dipikirkan sahabatnya yang dipastikan berfantasi hal bodoh tidak berguna. Sedangkan ucapan pria itu membuat Leo mengumpat kesal. "Kamu benar-benar menyebalkan. Padahal kamu beruntung bertunangan dengan tuan putri. Tapi menyebut calon istri terhormat saja seakan dia orang asing. Kacau. Hei, berikan saja tunangan dan adikmu untukku. Mereka terlalu sia-sia untuk orang yang tidak punya hati." Leo mengomel, tidak habis pikir dengan sikap sahabatnya tersebut.
Amaris mengangkat bahu tidak peduli, lagi pula ini hanya pertunangan politik untuk mempererat hubungan kerajaan dengan Scheinen. Jadi tidak ada yang begitu spesial dalam hubungan seperti ini. "Ketemu besok di istana sobat." Amaris menepuk pundak Leo kemudian berlalu pergi.
"Mau kemana kamu?" Leo bertanya kesal. Pasalnya Amaris datang hanya ketika ada maunya saja dan selalu sibuk bekerja.
"Kerja." Sudah Leo duga, jawaban itu yang sahabatnya lontarkan. "Kerja terus sampai mampus." Leo mengakhiri percakapan dengan decakan sebal diiringi tawa kecil Amaris.
.
.
.
"Yang Mulia. Sudah saya katakan Anda belum boleh menemui putri terlebih dahulu." Dokter mencegat Ilios untuk memasuki ruangan, dia tidak mau kejadian tadi malam terulang akibat kekeraskepalaan Ilios.
"Aku Ayahnya. Minggir. Sebelum kepalamu terlepas saat ini juga." Hari masih pagi, namun Ilios sudah membuat awal hari dokter itu buruk, dengan bersiap mengacungkan pedang pada lehernya.
Dokter Starla menghembuskan nafas panjang dengan sakit kepala. Mau tidak mau, dengan berat hati dia mengizinkan Ilios masuk. Mau bagaimana pun dia masih harus hidup untuk menyelesaikan pengobatan pasiennya kali ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Flocken
Fiksi Sejarah[ Juara 2 dalam event Writing Award 2022] Drama - Historical Setelah mendapatkan pengabaian dari keluarganya selama sepuluh tahun. Stella Scheinen--gadis bangsawan yang sempurna hendak pergi mengasingkan diri untuk mencari arti hidup sesungguhnya. ...