22. Regret

490 48 42
                                    

Netra ungunya bergetar dengan suara tercekat tidak percaya. "A- Apa?" Tubuhnya merasa kaku dengan perasaan bergejolak tidak beraturan mendengar pernyataan yang diajukan dokter.

"I- ini mustahil, Dokter. Tolong katakan kalau itu semua tidak benar. KATAKAN PADAKU KALAU ITU SEMUA TIDAK BENAR!" Suara kepala Keluarga Scheinen meninggi dengan tatapan putus asa.

Sementara sang empu yang menerima teriakan ayah pasiennya menggeleng dengan wajah menunduk pasrah, matanya berkaca-kaca, serta bibir yang digigitnya kuat sebagai rasa bersalah. "Putri sudah tidak bisa ditolong lagi."

Tawa sumbang keluar dari mulut pria tersebut meninju tembok di hadapannya hingga hancur, tubuhnya tremor dengan kenyataan pahit di hadapannya. Dengan berusaha menahan air mata yang mulai mengenang di pelupuk mata dia kembali bicara. "Anak saya tidak mungkin gila dokter.., Dia kemarin saja masih sehat.., Dia- dia anak yang kuat..,"

Dokter mengepalkan tangan, kepalanya menengadah menatap wajah pria yang sudah dalam kondisi terburuknya dengan air mata yang mulai berjatuhan. Seperti pria di hadapannya, kini suaranya mulai bergetar. "Untuk apa saya berbohong, Yang Mulia. Sedangkan saya adalah orang yang paling menginginkan kesembuhan putri.., Ini bukan hal yang bisa dijadikan lelucon..,"

Tubuh lemas pria itu jatuh ke lantai dengan tubuh bersandar pada dinding. Lengannya menutupi wajah, dengan dada naik turun dengan tangis tanpa suara. Sementara dokter mulai sesenggukan dengan realita di hadapan keduanya. Benar. Sekarang Stella sudah gila sepenuhnya.

"Lebih baik jika putri dibawa ke Pusat Kedokteran, tempat penanganan pasien gangguan jiwa berada. Itu adalah hal terakhir yang bisa saya lakukan." Setelah hening untuk sesaat, wanita itu mulai menghapus air matanya sembari mengatur napas. Tidak peduli penyesalan apa yang dirasakan, tidak ada yang bisa dilakukannya lagi untuk saat ini.

Ilios mulai bangkit dari lantai, matanya yang memerah menatap sayu wanita di hadapannya dengan senyum tipis. "Tidak, Stella akan tetap di sini. Aku tidak peduli berapa pun biaya untuk membayar Pusat Kedokteran untuk mengirim dokter-dokter lainnya untuk mengobati putriku. Aku tidak ingin berpisah dengannya sedikit pun."

Dokter Starla terdiam dengan ekspresi sedih. Pria di hadapannya sudah banyak berubah semenjak pertama mereka bertemu, dia tampak benar-benar sudah pasrah dan tidak bergantung dengan egonya kembali. Seakan dia berusaha menjadi lebih baik sebagai seorang ayah dengan segala penyesalan yang membebaninya.

Menurutnya, Ilios sudah berusaha sekuat tenaga untuk menjadi ayah yang layak untuk putrinya. Dan itu terlihat dengan segala usahanya hingga kini bahkan menerima putrinya dengan kondisi khusus. Itu bukan hal yang mudah. Setidaknya, sekarang dia bisa tenang, bahwa pasiennya kali ini akan didampingi seorang ayah seperti Ilios. Dia tidak sempurna. Tapi dia berusaha yang terbaik untuk sang putri.

Dokter Starla menatap jendela, langit mulai menjingga. Angin hangat musim semi berhembus meniup-niup ringan surai keduanya. Sayang sekali, perannya sudah berakhir di sini. Karena di luar sana masih ada pasien lain yang lebih membutuhkan pertolongannya.

Dokter wanita itu menghela napas panjang, dirinya menunduk, memberi hormat pada pria yang akan menjaga pasiennya. "Yang Mulia, kalau begitu saya izin undur diri. Saya akan kembali ke Pusat Kedokteran dan mengusahakan agar dokter yang kemampuannya mumpuni akan kemari untuk merawat sang putri."

Ilios menatap dokter yang berjalan menuju pintu keluar. Tatapannya kosong dengan rasa lelah tidak tertahankan. Walau begitu lidahnya yang kelu perlu mengucapkan sesuatu sebelum dokter yang menangani putrinya pergi. "Terima kasih untuk semua kontribusi Anda selama ini Dokter. Saya sangat berterima kasih."

Langkah dokter tertahan, tubuhnya berbalik menatap dengan tulus serta sendu. Rasanya dia benar-benar sedih harus meninggalkan pasien yang telah dia rawat selama ini. Bahkan kali ini dirinya sudah gagal menjadi seorang dokter. Namun, apa daya, waktu tidak bisa diputar dan penyesalan bukan solusi terbaik untuk saat ini. Walau begitu setidaknya dia masih bisa menolong orang lain di luar sana yang lebih membutuhkan dan masih memiliki harapan. "Sama-sama, Yang Mulia. Semoga Anda serta Keluarga Scheinen selalu diberkati. Kalau begitu saya pamit."

FlockenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang