38. The Scheinen

795 53 97
                                    

Pria dengan surai peraknya dengan manik merah mengombak diterpa angin, dirinya sudah tiga hari diperjalanan pulang menuju rumah. Kini dirinya sudah sampai, dengan cekatan dia mulai turun dari kudanya, lantas memberikan perintah pasukannya untuk beristirahat.

Dirinya sudah lelah, matanya memberat, dengan tubuh melemah. Dengan lemas dirinya memasuki Kediaman Scheinen, mendapati tidak ada siapapun yang menyambutnya kecuali Kepala Pelayan. 'Mungkin Ayah sedang sibuk mengurus Stella', pikirnya segera beranjak pergi untuk membersihkan diri menuju kamar. Dia menghela napas panjang, sudah lama akhirnya dia bisa merasakan kedamaian lagi.

Setelah dia selesai, dan mengenakan pakaian bersih. Akhirnya dia bisa menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang empuk, matanya mulai memberat dan segera menarik selimut, tubuhnya lelah. Dan dia sungguh butuh istirahat. Karena saat pertempuran dia tidak pernah bisa menikmati waktu tenang. Semua masih baik-baik saja saat dirinya beranjak tidur sebelum mendengar suara bisik-bisik dari luar kamarnya.

"Apakah Putri masih belum membukakan pintu untuk Archduke?"

"Benar, Putri katanya sudah sadar. Tapi tidak ingin siapapun masuk ke kamarnya selain Dokter Starla."

"Bukankah Archduke kasihan? Beliau selama ini sudah sabar menemani Putri. Tapi apa yang diterimanya sekarang? Bukankah itu tidak sopan?"

"Hust, jangan berpikir macam-macam. Lagipula jika menjadi Putri aku akan melakukan hal yang sama. Siapa juga yang akan menerima orang yang sudah mengabaikannya selama sepuluh tahun."

Amaris segera terbangun, rasa lelahnya lenyap seketika mendengar penuturan para pelayan yang bergosip. Itu menandakan Stella sudah menjadi waras seperti sediakala. Bukankah itu sempurna? Kini dirinya bisa meminta maaf secara resmi, pada sang ayah dan adik, lantas membangun keluarga hangat seperti yang mereka inginkan.

"Apa Stella ada di kamarnya?"

Para pelayan mengusap dada, terkejut akan kehadiran Amaris yang menyembul dari pintu kamar. Matanya berbinar semangat, dirinya antusias dengan fakta adiknya sudah waras. Kini dia tidak perlu menunggu lebih lama lagi. Ini waktu yang tepat! "Te- tentu saja. Tuan Muda. Putri ada di kamarnya."

"Terima kasih."

Langkah Amaris berjalan pergi menuju kamar sang adik. Dadanya berpacu cepat, dirinya semangat bukan main. Dia tidak perlu merasa bersalah lagi. Dia bisa mewujudkan segala hal. Sebelum langkahnya sempurna pada tempat sang adik. Dia bisa melihat ayahnya juga berjalan ke tempat yang sama. "Ayah!"

"Amaris? Kamu sudah kembali. Mau menemui Stella?"

"Benar."

Amaris bisa melihat wajah sedih sang ayah yang mencoba tersenyum. Ada apa? Apa Stella tidak mau bertemu mereka hingga ayahnya memasang ekspresi menyedihkan? Itu tidak mungkin, itu pasti hanya karena adiknya masih ingin beristirahat. "Semoga dia bisa menerima kita."

Menerima kita? Amaris kebingungan, tidak mengerti. Hingga akhirnya keduanya sampai dan bisa melihat pintu yang mengarah menuju kamar Stella. Tatapan keduanya beradu, sang ayah mengambil napas panjang sebelum mengetuk. Entah kenapa Amaris merasa gugup. "Siapa?"

Suara Dokter Starla. Amaris bisa mengetahuinya. Sepertinya apa yang dikatakan para pelayan bukan kebohongan soal wanita itu yang satu-satunya bisa mengakses kamar Stella. "Ini Ayah dan Kakak."

"Silakan, masuk."

Keduanya tanpa sadar menegak ludah, di kamar dengan warna putih gading menghampar sepanjang ruangan dengan hiasan emas murni terlihat mewah dan elegan. Beberapa lukisan terpanjang, yang kebanyakan melukiskan gambaran alam dan pemandangan. Sementara di atas sofa, gadis dengan gaun merah panjang, surai perak menjuntai dengan iris merah yang menawan terduduk nyaman menyesap teh hangat.

FlockenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang