Dokter Starla tersenyum lebar menatap wanita di hadapannya dengan mata berbinar terang. "BENAR SEKALI!. PUTRI MASIH MEMILIKI PELUANG UNTUK SEMBUH!"
Juliet menatap tidak percaya, iris ungunya bergetar dengan tawa kecil yang membuat orang yang melihatnya turut merasakan prihatin. "Bagaimana bisa?" tanyanya tidak karuan. Sudah jelas dokter saat itu mengatakan putrinya tidak bisa ditolong lagi. Lalu mengapa dengan mudah dokter ini dapat berkata demikian?
"Bukankah Tuan Putri terjatuh dan kepalanya terbentur dengan benda keras?"
Juliet yang mendengarnya mengangguk dengan sangsi, mengingat putrinya berdarah seperti tadi membuatnya tidak bisa berpikir jernih. Dokter yang mendapatkan kekhawatiran dari wanita itu menggenggam tangan wanita itu kuat.
"Nah, ada beberapa kasus yang pernah terjadi pada beberapa pasien yang memiliki gangguan kesehatan mental dan fungsi otak yang pernah mengalami kecelakaan dengan terbenturnya kepala tersebut. Di antara mereka ada yang sembuh dikarenakan salah satu sel saraf otak yang mati kembali bangkit. Bisa juga menjadi sebaliknya lebih buruk jika terbentur di tempat yang salah."Juliet tersenyum miris. Bukankah kemudian putrinya mendapatkan masalah lebih masuk akal di banding keajaiban? "Bagaimana jika tidak?"
Dokter yang mendapatkan respon tidak baik dari Juliet menghela napas. Tentu saja reaksi itu wajar karena dia pernah mengatakan hal yang sama sebelumnya tentang peluang kesembuhan Stella. Namun, karena adanya masalah itu menjadi gagal total. "Aku mengerti dengan kekhawatiranmu. Tapi, bukankah walau kemungkinan ini terjadi bisa menjadi dampak yang positif?"
Juliet tidak menjawab, malahan dengan lesu dia kini mulai mendekati tubuh Stella. Tangannya dengan lembut membelai wajah sang putri.
Dokter Starla yang melihatnya ikut mendekat, berdiri di samping Juliet menepuk pelan punggung wanita cantik tersebut. Ketika keduanya masih terdiam satu sama lain. Mata Stella mulai mengerjap perlahan, menghadirkan iris semerah darah yang bersinar indah dalam ruangan gelap."Juliet? Dokter Starla?" lirih gadis itu bersuara. Suaranya begitu lemah, bahkan hampir tidak terdengar. Tidak menghiraukan apa yang diucapkan gadis itu, keduanya mendekat dengan senyuman lebar. "Stella, syukurlah kamu sadar."
Stella menatap keduanya dengan lemah sebelum air mata tumpah dari kedua irisnya yang memburam seiring air yang mulai membasahi pipi. Dirinya menangis, jadi, dia masih hidup? Entah harus sedih atau bahagia. Di satu sisi dia merasa lega mendapati kedua wanita yang dia sayangi. Di sisi lain dia merasa sedih masih harus bertahan lagi di kehidupan sampah ini.
Stella bisa merasakan dekapan hangat yang diberikan wanita dengan paras cantik dengan surai perak menjuntai, pakaiannya basah, namun, handuk yang dikenakannya menghalangi air yang turun mengenai Stella. Tanpa berpikir bibir gadis itu bergerak pelan. "Aku takut..,"
"Tidak apa-apa. Tidak apa-apa. Aku ada di sini. Aku akan selalu ada di sini menemanimu."
Menemaninya?
Sungguh?
Stella merasakan hatinya kembali menghangat, apa kematian bisa lebih baik dari kehangatan ini? Bukankah dia berhak bahagia? Dengan mengambil sedikit keberanian dia menatap wanita itu yang kini mengecup wajahnya penuh kekhawatiran. Apakah wanita ini akan menerimanya bahkan jika dia tidak sempurna?
Dengan ragu bibir pucat gadis itu bergerak pelan menatap wanita itu dengan emosional. Tidak apa-apa. Dia bisa. Dia bisa melakukannya. Dengan mengumpulkan sedikit keberanian lagi, dirinya menarik ujung lengan gaun milik wanita itu memanggilnya pelan. "Juliet.., Aku..,"
Sebelum kata-katanya keluar dengan benar. Wanita yang kini tengah tersenyum hangat itu berubah menjadi pria. Katakanlah ini hanya ilusi, atau dirinya kembali gila. Tapi ketika dirinya melihat ekspresi Dokter Starla dirinya tidak bisa berhenti tahu kalau ini lagi-lagi kenyataan sampah yang harus diterimanya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Flocken
Historical Fiction[ Juara 2 dalam event Writing Award 2022] Drama - Historical Setelah mendapatkan pengabaian dari keluarganya selama sepuluh tahun. Stella Scheinen--gadis bangsawan yang sempurna hendak pergi mengasingkan diri untuk mencari arti hidup sesungguhnya. ...