28. Crown Princess

426 43 54
                                        

Malam sudah semakin larut, gelap menyapa langit. Gumpalan awan suram bertaut dengan berbintang cerah yang menghiasi dengan purnama sebagai pemeran utama malam ini. Udara berhembus dengan kencang, dingin menyapa kulit, membuatnya para makhluk menghangatkan diri.

Para prajurit silih berganti berlatih, dengan semangat yang masih berkibar dalam dada, terus melatih kemampuan bertarung semakin baik dan baik. Yang lain pun berjaga-jaga dengan berpatroli mengelilingi penjuru camp, memastikan keamanan pasukan sempurna. Sementara sedikit yang lain lebih memilih beristirahat menghangatkan diri serta berbincang kecil dengan rekan pertempuran.

Besok adalah di mana hari pertama mereka menyerang. Semangat serta kegelisahan terpendam dalam hati mereka yang terdalam. Tidak ada yang berbicara terang-terangan tentang hari esok, di mana mereka bisa mati atau kembali hidup-hidup.

Sedangkan pria dengan surai perak dan manik darahnya bersinar, menatapi peta besar di atas meja dengan miniatur mini yang sekali-kali dia gerakkan setelah berpikir panjang. Sementara di sampingnya sang sahabat merebahkan diri di atas dipan membaca buku sembari mengamati setiap gerakan yang dilakukan sahabatnya. "Sudahlah, strategi saat ini sudah bagus kawan. Tidak usah menyusahkan diri sendiri lagi."

Amaris melirik pria surai biru tua yang terlihat sangat menikmati waktu lenggang. Sedangkan dia masih saja berkutat dengan strategi yang terus bermunculan di kepalanya. Melihat pria surai perak yang masih terdiam Leo menghembuskan napas panjang. "Aku tahu kamu mau ini sempurna. Tapi kita hanya manusia. Kita hanya bisa berusaha sebaik mungkin."

"Berisik." Amaris berdecak sebal tidak menggubris semua kata-kata pria santai itu. Lagipula apa salahnya untuk memikirkan berbagai kemungkinan yang akan terjadi? Malahan ketika gagal nanti dia masih bisa menggunakan strategi cadangan yang sudah dipikirkannya matang-matang.

"Hoam.., Aku akan tidur lebih dulu. Kamu juga jangan begadang. Besok hari penting." Tidak merasa tersinggung dengan kelakuan Amaris, Leo segera keluar menuju tendanya sendiri, dia sudah merasa letih dan ingin tertidur lelap.

Dengan kesal pria surai perak mendengus, lantas merebahkan dirinya di atas tempat tidur. Tidak ada salahnya juga mendengarkannya kata-kata si biru tua itu. Dengan merilekskan dirinya dia mulai menatap langit-langit tenda dengan cahaya remang dari lentera yang tergantung. Pikirannya yang kosong mulai melayang memikirkan banyak hal, banyak penyesalan, banyak kebingungan.

Hingga pada pemikiran di mana dirinya akan pergi setelah semua ini usai. Dia harus kembali ke rumah. Kediaman Scheinen tempat di mana menjadi saksi atas seluruh kisah hidupnya selain medan tempur. Apa yang harus dilakukannya ketika sudah kembali? Yang pertama terpikirkan adalah adiknya- Stella. Hubungan mereka sekarang benar-benar buruk, mungkin dia harus memperbaiki hal itu. Dan juga bagaimana dia harus mengendalikan emosinya yang terkadang meledak tidak terkendali. Memikirkannya saja sudah membuatnya lelah.

Setelah pemikiran itu penyesalan tidak berguna kembali membuatnya pesimis- tentang kesalahannya yang tidak pantas terampuni. Tentang dia hampir membunuh adiknya sendiri. Gila memang. Bisa-bisanya ayah hanya memeluknya lantas mengatakan tidak apa-apa, walau itu dilakukan setelah mematahkan satu kakinya. Tapi kejadian itu tetap membuatnya cemas. Ini mengerikan. Dia tidak pernah berpikir sedalam ini tentang berhubungan dengan manusia selain sang ayah. Dan sekarang dia berusaha membangun hubungan dengan adiknya? Lupakan. Mungkin ini semua ide bodoh.

Waktu berlalu cukup lama. Mata Amaris masih belum bisa terpejam dengan pemikiran yang semakin buruk menggema di kepalanya semakin keras sepanjang waktu. Merasa insomnia miliknya kambuh, dia turun dari atas dipan, dia harus menghirup udara segar untuk menenangkan diri.

Dengan jubah yang disampirkan di pundaknya, Amaris keluar tenda memperhatikan para prajurit yang beraktivitas dari kejauhan. Sebagian dari mereka yang berpapasan langsung menunduk hormat atau menyapa hormat. Dengan anggukan salam dijawabnya dengan langkah menuju sumber percikan air.

FlockenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang