Orang-orang mengatakan karma itu adalah sesuatu yang nyata dan keberadaannya bukanlah sekadar mitos belaka. Karma adalah timbal balik dari perbuatan buruk yang pernah dilakukan. Karma akan berbalik menimpa kamu atas kesalahan yang telah dilakukan.
Dan bagi Ilios sendiri. Setelah sekian nyawa pernah melayang oleh tangan penuh darah dan kebencian dan sudah banyak hati yang dihancurkan. Tuhan membalas perbuatannya dengan membuat hal buruk menimpa anak-anaknya dengan cara paling menyakitkan. Bukan fisik, tapi emosional.
Bukan dia yang mendapatkan hal buruk itu, atau sebut saja karma. Namun semua itu seakan berimbas pada anak-anak yang dia sayangi. Mau Amaris maupun Stella. Tuhan seakan mengatakan, ini adalah balasan perbuatanmu. Aku tahu apa yang bisa membuat kamu menyesal atas apa yang telah kamu lakukan.
Ilios hanya bisa menertawakan takdir. Karena dibanding menyalahkan Tuhan. Dia lebih memilih menyalahkan dirinya sendiri yang tidak pernah bersyukur apa adanya. Dan bagaimana dia membenci takdir sebagai musuh terbesar.
Karena itulah, walau putranya itu salah. Dan hampir saja membunuh Stella. Dia tidak bisa membenci atau membuang putranya tersebut. Karena dibanding sang putra. Dia merasa dialah yang paling berdosa, dan pantas mendapat hal yang lebih buruk.
Tatapan Ilios yang menerawang kini melirik sendu putrinya yang berjalan mengitari ruang makan. Sembari berjalan, dia mengambil makanan secara acak di meja dan tanpa etika memakannya begitu saja. Ilios tidak marah atas perbuatannya anaknya. Dia hanya tersenyum sembari memakan makanan di hadapannya. Begitupula Amaris yang diundang untuk makan bersama, duduk dengan canggung.
"Ng..., Hmmm...," Stella mengeluh saat tangannya dibersihkan oleh salah satu pelayan yang berusaha memberikan sang nona.
"Biarkan dia makan sesukanya." Ilios berujar sembari menyuapi satu sendok sup ke mulut Stella dengan lembut, sembari mengelap bagian wajah yang kotor dengan serbet.
Penampilan Stella sekarang layaknya anak kecil dengan pakaian kotor karena makanan. Tidak, Stella memang bukan lagi orang waras yang berkeliaran di mansion tanpa larangan. Amaris yang menatap semuanya hanya bisa terdiam, meringis. Tangannya kembali mengepal, mengingat kesalahannya lagi.
"Mulai sekarang kita bertiga akan sarapan bersama setiap pagi. Aku harap di antara kalian tidak ada yang keberatan," ucap Ilios di tengah-tengah sarapan menuntun Stella agar duduk di kursi yang sulit diatur.
Amaris yang mendengarnya mengangguk mengiyakan. Nampaknya, Ilios kini mau merubah kebiasaan individualis Scheinen yang terbiasa serba sendiri agar bisa kembali bersama.
Duk!
Stella menendang meja hingga bergeser ke depan. Dia tampak tidak suka disuruh untuk duduk di kursi dengan sopan. Ilios hanya bisa menghembuskan napas, namun tetap tersenyum. Tangannya dengan lembut membelai rambut sang putri dengan sayang. Stella yang terlihat menyukainya dengan manja menelunsupkan wajahnya ke tubuh besar Ilios seperti anak kucing.
"Ayah, apa Ayah tidak akan ke istana?" tanya Amaris hati-hati, suaranya melembut berusaha tidak menganggu kedamaian Stella.
Ilios melirik putranya tersebut. Itu benar dia seharusnya hadir di istana. Tapi bagaimana dengan Stella? Dia trauma meninggalkannya sendiri lagi. "Aku sibuk di sini," ujar pria tersebut dengan muka berpaling.
"Tapi, bukankah Ayah diperintah Yang Mulia Raja untuk ikut serta dalam pemberantasan pemberontak dengan Marquiss Anaan?" Amaris lagi-lagi bertanya dengan suara rendah dan hati-hati. Sejujurnya apa yang dikatakannya memang benar, tapi mengingat kondisi Stella. Ayah mereka sepertinya tidak akan datang.
Ilios terdiam tidak menjawab. Pikirannya kembali bergelut ria, memang benar kalau negara kini memerlukan dia untuk ikut dalam pemberantasan pemberontak. Tapi kondisi masih terkendali dengan baik oleh Marquiss Anaan. Lagipula, dia diperintah Raja ketika Marquiss Anaan gagal mengatasi hal tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Flocken
Historyczne[ Juara 2 dalam event Writing Award 2022] Drama - Historical Setelah mendapatkan pengabaian dari keluarganya selama sepuluh tahun. Stella Scheinen--gadis bangsawan yang sempurna hendak pergi mengasingkan diri untuk mencari arti hidup sesungguhnya. ...