Dari ruang sel dengan penerangan minim dari ventilasi dalam penjara, samar-samar cahaya mentari membasuh tubuh pria dengan surai perak tertunduk. Kedua tangan dan kaki pria itu terikat borgol serta rantai yang menempel di dinding. Wajah dengan manik darah itu pucat, bibirnya kering dengan tubuhnya yang melemas.
Dua hari telah berlalu. Tanpa makan dan minum selama itu dia terdiam dengan pandangan kosong, menghitung waktu demi waktu yang terus maju, berpikiran mungkin dia akan mati setelah waktu berlalu. Tapi dia belum mau mati, setidaknya dia harus memberikan permintaan maaf sekali lagi pada adik dan ayahnya. Semakin waktu berlalu, rasa letih, lapar dan haus perlahan menggerogoti akal sehatnya untuk berpikir jernih.
Wajah yang semula bagai pahatan sempurna makin lama tampak kurus dan kusam. Pikirannya sudah kosong dengan pandangan sendu. Menyedihkan. Apakah dia akan mati seperti ini? Sepertinya kedua pengkhianat menjijikkan ini tidak ingin membiarkan dirinya mati dengan tenang. Mereka ingin menyiksanya secara perlahan.
"Apa kamu baik-baik saja?"
Amaris tidak menjawab. Menatap kosong gadis surai merah dengan manik samudera yang pernah membuatnya terpesona. Gadis itu berbicara penuh perhatian, walau tidak semuanya adalah perhatian tulus. Dirinya amat tahu akan hal itu.
"Apa kamu juga sudah gila seperti adikmu?"
Lagi? Apakah gadis ini akan terus mempermainkannya sampai dia mati? Bahkan tidak cukup dengan menistakan dirinya, dengan santainya dia membawa-bawa adiknya yang berharga. "Kamu sampah. Kamu tahu itu gadis gila?"
Gadis itu tidak berkata lebih banyak, dirinya berjongkok tepat di depan sel. Bahkan dia pun tidak tahu apa yang kini dia lakukan dengan mempermainkan pria yang pernah menjadi tunangan adik tirinya itu. "Ya, aku memang cukup gila. Dan kamu lebih dari tahu atas hal itu."
Gadis dengan nama Andromeda menatap ekspresi yang dikeluarkan pria berdarah Scheinen. Ini membosankan, tidak ada lagi yang menarik dari pria ini. Dia menatap segala hal tanpa emosi, sekali berbicara yang dilontarkannya hanyalah ejekan dengan suara lemah tidak terstruktur. Mungkin ini karena dia bosan menunggu rencana selanjutnya, yakni bermusyawarah untuk perdamaian di antara kedua belah pihak. Membuat pria ini sebagai jaminan dan mainannya tidak membuat segala hal berlalu lebih cepat serta menyenangkan.
"Apa kamu masih belum bosan dengan boneka barumu itu?"
"Kenapa memangnya?"
Andromeda tersenyum menatap pria dengan cerutu yang kini memakai kaca mata. Surai biru tuanya terlihat indah di bawah samar cahaya, dengan lembut pria itu mengecup pipi gadis itu. "Tidak. Hanya saja dia bukan mainan yang menarik lagi. Lebih baik kamu membuangnya. Lagipula informasi mereka kalah sudah sampai ke istana, kita tinggal masuk dalam rencana selanjutnya."
Andromeda mendengarkan tiap kata yang keluar dari bibir prianya. Dia mendorong sedikit wajah pria itu menjauh. "Aku tidak suka bau cerutu. Kamu tahu itu. Jadi kuharap kamu melakukannya jauh-jauh dariku."
Kedua orang itu tertawa hangat dan mesra. Pemandangan itu membuat Amaris mual. Keduanya membuat dia ingin muntah. "Bisakah kalian pergi saja. Melihat kalian berduaan membuatku sungguh mual."
Mendengar penuturan Amaris keduanya tertawa. Dengan berjongkok, menempati tempat kekasihnya, Leo tersenyum menatap ke dalam sel dengan hangat. "Aku yakin Tuan Muda kita ini kesepian bukan? Jangan terlalu bersedih, aku tidak sekejam itu akan menyiksamu melebihi batas yang kamu miliki."
"Untuk apa aku sedih, huh?"
Leo tertawa kecil, bibirnya tertutup dengan pemandangan jenaka yang menatap bonekanya tersebut. Dia tidak bermaksud sejauh ini, lagipula pria ini masih menjadi boneka paling manis yang dia miliki. "Jangan berbohong. Kamu tidak pandai melakukannya, kamu tahu itu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Flocken
Historical Fiction[ Juara 2 dalam event Writing Award 2022] Drama - Historical Setelah mendapatkan pengabaian dari keluarganya selama sepuluh tahun. Stella Scheinen--gadis bangsawan yang sempurna hendak pergi mengasingkan diri untuk mencari arti hidup sesungguhnya. ...