37. Stella Scheinen

548 53 23
                                    

Gadis dengan surai perak dengan manik merah darahnya sudah mengurung dirinya dalam kamar selama berhari-hari. Tidak ada yang dibiarkan masuk, kecuali Dokter Starla. Wanita itu satu-satunya pengecualiannya, terlebih kamarnya sudah tidak bisa diakses oleh ayahnya ataupun penyamaran ayahnya yang lain.

"Putri? Sampai kapan Anda akan begini, hm. Ini sudah tiga hari."

Tiga hari ya? Stella menarik selimutnya lebih dalam, membalut seluruh tubuhnya agar tidak terlihat. Kenapa memangnya jika dia begini? Dia juga sudah sangat lelah. Apakah salah baginya untuk mengurung diri di dalam kamarnya, sendirian, memikirkan seluruh keburukannya yang tidak pernah dia bisa lepas dari hidupnya.

Sudahlah. Harusnya Dokter menyerah saja. Kenapa dia harus bersusah payah menolong gadis menyedihkan sepertinya? Dia sudah mencoba bunuh diri juga? Apakah wanita ini masih melihat titik terang untuk kesembuhannya?

Tok, tok, tok.

Lagi? Stella tahu siapa itu. Orang bodoh yang sama saat menyelamatkannya tempo hari. Kenapa dia tidak menyerah saja dan terus menerus berusaha masuk dalam hidupnya? Sungguh. Dirinya tidak mengerti. "Stella. Apakah Ayah boleh masuk?"

Masuk? Tentu saja tidak! Dia tidak mau pria menjijikkan itu masuk dalam hidupnya 'lagi'. Dia sudah cukup sengsara. "Maaf, Archduke. Putri tidak ingin menerima tamu saat ini. Saya akan kabari lagi nanti."

"Baiklah."

Langkanya pergi. Stella menarik bantal menutup kedua telinganya. Dia sekarang tidak tahu harus berbuat apa. Dia. Benar-benar tidak tahu. Dia sudah sangat lelah. "Katakan pada saya sejujurnya apa yang Anda inginkan, Putri. Kami semua tidak mengerti. Apa yang Anda inginkan."

Apa yang dia inginkan? Dirinya saja tidak tahu. Apa yang diinginkannya saat ini. Apa? Apa? Apa yang diinginkannya? Pikirannya bergelut hingga pada akhirnya suara kecil keluar dari bibirnya yang pucat. "Saya, saya hanya ingin berhenti mencoba, berusaha baik-baik saja, ataupun berjuang. Sekarang yang saya inginkan hanyalah menyerah. Saya.., saya hanya ingin menyerah. Karena itu.., biarkan saya menyerah..,"

Dokter Starla meletakkan nampan berisikan makanan di atas meja. Dengan langkah pelan dia mendekati Stella yang kini mulai gemetaran, dokter itu dengan senyuman hangat terduduk. Dirinya memeluk gadis itu dari samping, menepuk kepalanya lembut. "Tidak ada yang melarang Anda menyerah, oke? Anda bisa menyerah. Tidak apa-apa. Jangan buat kepala Anda sakit memikirkan hal-hal buruk. Saya tidak akan mengatakan omong kosong agar Anda bangkit atau apapun. Saya di sini hanya akan mendengarkan seluruh kekhawatiran Anda. Hanya itu. Tidak dengan yang lain."

Stella mengintip dari selimut, wajahnya menyembul dengan mata sembap. Dokter tidak berkata apa-apa, wanita itu kembali menarik gadis itu dalam dekapannya. "Tidak apa-apa. Katakan semuanya. Tidak apa-apa. Saya di sini tidak akan menghakimi."

Stella tidak tahu. Yang dia lakukan hanya menangis. Semua kata-kata yang selama ini tidak bisa dia ucapkan keluar seperti sungai mengalir. Semua keluh kesahnya. Kebenciannya, takut, harapan yang diinginkannya. Dan apa yang dibencinya.

"Saya.., saya merasa lemah. Saya takut. Saya benar-benar tidak tahu mengapa saya bisa selemah ini. Saya. Pada awalnya saya tidak pernah begini. Lantas. Banyak hal yang terlintas dalam benak saya. Sebenarnya siapa diri saya sebenarnya? Siapa diri saya yang menginginkan kebahagiaan itu? Siapa sebenarnya jati diri saya. Si lemah atau sempurna itu? Atau saya bahkan bukan siapapun. Saya sungguh kebingungan."

Stella kewalahan, emosi memenuhi kepalanya menyala. Banyak hal yang dipendamnya selama ini. Sekarang dia sadar, sepenuhnya sadar dan tidak gila. Dia tahu ini kenyataan. Seperti yang dikatakan Dokter Starla, bahwasanya benturan yang dialami kepalanya menyebabkan sel saraf otak yang mati kembali aktif dan bekerja semestinya. Membuat dia berada dalam kewarasan penuh.

FlockenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang