19. Amaris Scheinen

456 40 32
                                    

Pemuda dengan surai perak serta netra semerah darah menatap dirinya dalam cermin dengan balutan pakaian putih, hiasan bunga lili terpasang di saku jasnya, membuat pesonanya bertambah.

Ekspresi dingin dengan senyum tipis terpampang dengan datar di wajah tampannya. Pikirnya melayang, menanyakan, untuk apa hidupnya selama ini? Karena dari dulu tujuannya untuk hidup hanyalah satu. Menjadi seorang Scheinen sejati, mendapatkan pengakuan yang pantas dan juga cinta dari sang ayah. Hanya itu.

Harapan-harapan bahwa dia harus berhasil telah diusahakan sedari dulu. Hingga akhirnya dia bisa mendapati posisinya sebagai komandan seperti sekarang. Berbagai prestasi militer serta politik diluncurkan, hingga kenaikan kualitas militer dalam negeri yang mendapatkan penghargaan, dia hanyalah ingin mendapatkan perhatian penuh sang ayah.

Walau Ilios hanya memberi selamat dengan kartu ucapan. Tapi itu tidak membuatnya berkecil hati, karena dia sangat bahagia walau mendapat sedikit perhatian. Dulu sekali saat semua baik-baik saja. Dirinya tahu bahwa Stella juga ingin mendapatkan perhatian seperti dirinya, berbagai bidang ditekuni gadis itu dengan optimal hingga menjadi ahli dan mendapat penghargaan. Tapi dia tidak peduli, dan terus bekerja keras di bidangnya tanpa memedulikan segalanya, bahkan adik yang berusaha mendekatinya, dia pikir itu hanya menghambat jalan kesuksesannya.

Keduanya seakan berlomba-lomba mendapatkan prestasi dan penghargaan untuk bisa dibanggakan. Reputasi, prestasi, penghargaan, keterampilan, kekayaan, hingga pengakuan semua orang mengatakan bahwa mereka adalah Scheinen sejati, sebuah wujud kesempurnaan.

Ketika semua orang mengelu-elukan kesempurnaan mereka hingga terkenal hingga lintas negeri. Namun sang ayah yang acuh tetap bersikap tidak begitu peduli pada anak-anaknya jika mereka terlihat masih hidup dengan baik, karena prestasi itu hanyalah bagus untuk keduanya di masa depan dan dia tidak merasa harus membanggakannya, walaupun jika mereka sudah menoreh tinta emas dalam sejarah.

Seorang ayah yang acuh tidak acuh, persaudaraan renggang yang canggung, dari luar keluarga mereka layaknya keluarga bangsawan yang pantas menjadi panutan karena tata krama yang sempurna sesuai martabat mereka. Walau di dalamnya mereka tidak ayal seperti orang asing yang tidak bisa berkomunikasi dengan bijak.

Amaris mengetahui, adiknya tidak berbeda dengan dirinya yang mengemis kasih sayang dari ayah mereka. Karenanya dia bersimpati dan tidak pernah berlaku buruk kecuali sikap kakunya yang sulit dihilangkan. Walau begitu, sebagai putra pertama dia lebih sering bertemu dengan sang ayah di banding Stella. Karenanya sebagai penerus dia lebih sering mengurus pekerjaan dengan sang ayah. Berbeda dengan Stella yang sangat jarang bertemu karena tidak memiliki keperluan, dan hanya bisa saling berbincang di hari besar.

Hingga kejadian itu pun berlaku. Ayahnya mendekati Stella, memberikan perhatian seorang ayah pada anak. Kasih sayang juga kelembutan yang tidak pernah dia berikan kepada orang ain kecuali sang istri seorang. Awalnya dia hanya membuat pewajaran. Tidak apa-apa, itu hanya karena anak itu sakit. Tapi semakin waktu berjalan, kekesalannya melonjak setiap perhatian Ilios semakin lebih dari hari ke hari.

Ayahnya bahkan rela mengubah jenis kelamin hanya karena ingin bertemu sang putri. Amaris benar-benar tidak paham. Pikirannya bisa mengerti namun hatinya sekali lagi menolak. Dia benci, benci, benci sekali pada adiknya yang memonopoli penuh perhatian sang ayah. Apa dia juga harus mendapat musibah dulu agar mendapatkan perhatian dari sang ayah?

Amaris hanya bisa menelan rasa kebencian itu bulat-bulat, yang membuat kebenciannya semakin membesar dari hari ke hari. Walau dalam titik tertentu dia juga tidak mau menghancurkan kebahagiaan sang ayah. Namun, mengapa itu begitu sulit?

"Bukankah itu indah. Lihatlah, adikmu melukis ini." Bahkan di depan mukanya dengan wajah penuh kebanggaan ayahnya menunjuk lukisan menawan yang tergantung di dinding ruang kerjanya. Ekspresi bangga itu membuat sesuatu dalam dirinya pecah. Apakah ayahnya pernah menunjukkan ekspresi itu bahkan ketika dia mendapat penghargaan dari kerajaan?

FlockenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang