32. Betrayal

383 36 69
                                    

Apakah pernah terlintas di kepalamu bahwasanya orang terdekat yang kamu miliki akan berkhianat?

Pernahkah?

Bagi Amaris Scheinen, hubungan dengan manusia itu rumit, dia tidak suka bersosialisasi kecuali itu termasuk dalam perkembangan pendidikan yang dia raih. Dia tidak suka berbasa-basi atau mengabiskan waktu dengan omong kosong hubungan mendalam. Karena bahkan dirinya yang selalu mengejar perhatian sang ayah, dia tidak pernah diakui. Itu adalah luka besar yang tidak pernah bisa hilang dari hidupnya. Bagi Amaris, berhubungan dengan manusia itu rumit dan hanya menyisakan luka.

Hingga suatu hari, di umurnya yang empat belas, beberapa tahun setelah kematian ibunya, ketika dirinya di akademi. Seorang senior akademi yang ramah pada semua siswa mendekatinya dengan hangat. Itu membingungkan, pemuda dengan surai biru tuanya yang selalu menarik perhatian, mendekati keturunan Scheinen seperti dirinya yang suram dan tidak memiliki kemampuan berkomunikasi dengan baik.

Dia masih ingat, bagaimana dirinya yang selalu bersikap dingin dan berpaling dari perhatian yang diberikan pria itu. Dia hanya berpikir, 'Mungkin dia hanya ingin dekat denganku karena marga Scheinen.' Itu yang selalu dipikirkannya. Hingga suatu hari ketika semua orang pulang ke rumah masing-masing pada waktu liburan. Amaris tidak pulang, dia mendekam di akademi dan berlatih habis-habisan dengan guru senior yang melatihnya tanpa batas waktu, dari fajar hingga larut malam.

Amaris tidak mengeluh, dia tidak mengadu, ini adalah jalan baginya untuk menjadi yang terkuat seperti sang ayah. Di harus kuat. Itu yang tertanam dibenaknya. Tidak peduli sebanyak apa luka yang harus didapatkan, tidak peduli berapa kali tulangnya patah, tubuhnya banjir keringat, hingga dirinya sakit parah. Yang pasti ketika masa-masa terburuk tidak akan ada yang menemaninya, semua orang yang selalu berusaha mendekatinya karena marganya yang berharga itu. Akan segera pergi ketika dirinya dalam kondisi terburuk.

Karena itu. Amaris tahu, manusia itu rumit dan dia harus memberikan timpal balik yang berharga agar diakui, dan dirinya sendiri terlalu malas untuk berusaha mendapatkan perhatian orang lain, kecuali ayahnya sendiri. Dia ingat ketika itu dirinya selama liburan musim panas jatuh sakit karena berlatih tanpa batas waktu, di tengah latihannya dia pingsan karena kekurangan nutrisi dan akibat kelelahan. Dirinya saat itu terbangun di atas ranjang dengan kepala pening, menemukan senior sok ramah dengan surai biru tua itu yang tertidur di sebelah ranjangnya dengan kain basah yang digenggam dengan lemah.

"Astaga! Akhirnya kamu bangun. Aku menemukanmu pingsan di tempat latihan. Karena itu aku membawamu ke sini, semalaman kamu demam tinggi. Apa sekarang kamu sudah baikan?"

Tangan besar pria itu menyentuh dahinya yang hangat. Dengan senyuman bodoh senior yang selalu dipanggil Leo itu beranjak pergi dan membawakannya bubur hangat untuk dimakan. Saat itu Amaris tidak mengerti kenapa pria itu begitu baik. Amaris tidak mengerti, dia tidak pernah melakukan sesuatu yang berarti bagi pria itu, dia selalu mengabaikannya dengan dingin, dia selalu bersikap buruk agar dijauhi. Tapi kenapa orang ini dengan tampang bodoh masih mendekatinya bahkan ketika dirinya dalam kondisi buruk?

"Kenapa? Kenapa senior melakukan hal tidak berguna seperti ini? Aku, aku tidak mengerti."

Amaris masih ingat dengan jelas, kala itu dia hanya mendapatkan senyuman lebar serta sentilan keras di dahinya. "Apakah berbuat baik itu adalah kesalahan, huh?" Pria itu hanya tertawa kecil dan menyuapinya dengan lembut. Itu adalah kali pertama dia merasakan kasih sayang yang tulus selain dari ibunya. Saat itu Amaris mendapatkan hatinya menghangat.

Hatinya yang selalu tertutup perlahan terbuka, hingga hari kelulusan seniornya itu dia memberikan undangan untuk masuk dalam kelompok Kesatria Aencas. Kali itu untuk pertama kalinya dia memberikan kesempatan untuk orang lain mendekat ke sisinya. Semua berlalu dengan cepat, mereka selalu bersama, bahkan terkadang pria itu satu-satunya teman bercanda. Dan bagi Amaris, hubungan paling berharga selain ego untuk dianggap oleh sang ayah adalah persahabatannya yang kuat dengan pria surai biru tua itu.

FlockenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang