Fifteen⛅

173 27 174
                                    


"Ara kemana sih?! Jam segini belum dateng juga, mana upacara udah mau dimulai lagi!" gerutu Aca kesal.

"Sabar Ca, mungkin Ara bangun kesiangan," ujar Asta menenangkan Aca yang sudah terlihat kesal menunggu kedatangan Ara.

Chaery hanya diam sambil memainkan jemari kuku nya yang baru saja ia warnai tadi pagi sebelum berangkat ke sekolah.

"Gak takut kena razia Ce?" Tanya Asta was-was.

"Nggak, justru gue seneng kalo sampe di razia." Jawab Chaery santai.

"Gila!" Ujar Aca sedikit membentak.

Chaery tersenyum jahil, sudah biasa dengan sikap Aca yang sedikit keras terhadapnya. Ia tak memperdulikan ucapan yang keluar dari mulut Aca barusan. Menurutnya, itu bentuk kasih sayang Aca yang berbeda untuk dirinya.

Asta ikut tersenyum, kemudian menepuk pelan bahu Aca. "Ke lapangan sekarang aja gimana? 3 menit lagi udah mau mulai," ajak Asta.

Aca dan Chaery mengangguk meng-iyakan ajakan Asta. Mereka lalu berjalan menuju lapangan tanpa kehadiran Ara. Toh nanti juga Ara bakalan datang walaupun sudah sangat terlambat.

***

"Ya Allah semoga belum mulai upacaranya," Ara berdoa dengan sungguh-sungguh. Berharap ia tidak terlambat karena bangun kesiangan.

Angkot yang Ara tumpangi kini sudah berada di depan sekolah, kemudian ia turun dan membayar ongkosnya. Ara berlari kecil ke arah pagar sekolah. Namun sayang, pagar sudah di kunci karena upacara sudah di mulai dari 15 menit yang lalu.

"Apes banget gue hari ini!" Keluh Ara sambil menghentakkan kaki nya kesal.

Namun tiba-tiba Ara mendapatkan ide, dan dia lari ke arah belakang sekolah dengan sumringah. Kini, Ara sudah berdiri di depan tembok yang lumayan cukup tinggi. Ia berusaha memanjat tembok itu dengan segala cara, namun nihil. Ia malah terjatuh, lalu meringis kesakitan di bagian kaki kirinya.

"Sakit banget awss," ringis Ara pelan.

Saat hendak berdiri, seseorang menjulurkan tangannya di depan wajah Ara. "Butuh bantuan?" Tanya Reja terhadap Ara.

Ara mengerjapkan matanya, "I-iya kak, sakit!" Keluh Ara lalu menjabat tangan Reja.

Reja membantu Ara berdiri, "Masih sakit gak Ra?" Tanya Reja serius.

"Sedikit, tapi gak terlalu." Jawab Ara meyakinkan Reja.

Reja mengangguk dan melepaskan tangan Ara pelan, karena ia merasa tak enak.

"Pegang aje Ja, gue tau lo mau modus!" Celetuk Abel dari belakang sedang berjalan bersama Aron menghampiri Reja dan Ara.

"Diem Bel, kalo ngomong lu suka bener," jawab Reja sambil tertawa.

"Mau disini aja? Gak mau manjat? Bolos aja lah!" Seru Aron semangat.

Ara menggeleng, "Ngga kak, lo bertiga harus sekolah walaupun terlambat."

"Malu Ron ya Tuhan! Iya ayo neng manjat aje kita, jangan dengerin nih anoa satu! Emang stres otaknye," ujar Abel.

"Setan!" Kesal Aron.

"Udah-udah, ayo jangan banyak bacot. Naik ke tangan gue Ra, injek aja gapapa ntar gue merem kok." Ujar Reja menjelaskan.

Ara mengangguk kemudian mengikuti arahan Reja. Dan ya, setelah bersusah payah, akhirnya Ara sudah bisa melewati tembok itu disusul Reja, Aron dan Abel.

"Ayo ikut gue Ra!" Ajak Reja.

Tak ada pilihan lain, akhirnya Ara mengikuti kemana Reja dan kedua temannya pergi. Mereka mengendap-ngendap berjalan melewati setiap kelas, dan sampailah mereka di barisan kelas 11.

Secret AdmirerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang