Turun dari panggung, Yuga tiba-tiba berhenti berjalan. Ia berbalik badan, lalu memeluk Ringgo beberapa detik.
Lalu juga memeluk Aga.
Terakhir, dia juga memeluk Kei.
Ketiga sahabatnya itu sempat terdiam. Tidak biasanya Yuga memeluk mereka. Walau hanya beberapa detik, mereka bisa merasa ada yang tidak beres dengan Yuga.
"Are you okay?" tanya Kei, setelah Yuga memeluknya.
"More than okay. Gue bahagia banget bisa tampil sama kalian bertiga," jawab Yuga tersenyum lebar. "Thanks, karena kalian udah maksa gue untuk latihan dan tampil di depan banyak orang. Gue nggak nyangka, rasanya bakal seseru ini."
Ringgo terkekeh. "Astaga, gue kira lo ada masalah karena tiba-tiba meluk kita. Biasanya kan lo selalu mode berantem kalau disentuh."
Yuga ikut terkekeh. "Oh, ya? Sekasar itukah gue?"
Aga berdecak. "Jangan pernah meluk gue lagi, kalo nggak mau gue tinju."
"See? Gue masih kalah kasar dibanding Aga," ucap Yuga tertawa lebih lepas setelah mendengar perkataan Aga. "Intinya! Gue meluk kalian karena merasa bahagia banget bisa tampil. Kalau gue kemarin nyerah, mungkin gue bakal nyesel banget."
"Sama-sama! Gue juga enjoy banget tadi tampil, apalagi banyak cewek yang teriak-teriak. Seru lihatnya dari panggung," ujar Ringgo tersenyum lebar. "Jadi, Yuga, apa lo mau latihan dan tampil terus bareng kita?"
Aga tiba-tiba menyikut perut Ringgo. "Apa maksud lo, hah?! Gue kira ini terakhir kalinya kita tampil!"
"Argh, awalnya juga gue mikir gitu. Tapi, apa lo nggak ngerasa happy lihat reaksi penonton seramai tadi? Mereka pasti bakal kecewa kalau kita langsung bubar," jawab Ringgo sambil memegangi perutnya yang sakit.
"Iya, sih." Aga sempat menunduk, lalu melihat ketiga sahabatnya satu persatu. "Gue juga mau terus tampil kayak tadi, malah ... kalau bisa harus lebih bagus dari tadi."
"Nice!" Kei merangkul Aga dengan santai, tidak takut akan dipukul. "Gue juga. Kalau Yuga? Lo keliatan mikir banget buat jawab pertanyaan Ringgo tadi. Gimana? Mau terus tampil bareng kita, atau nggak?"
"Kenapa kalian masih nanya? Tentu aja gue mau!" Yuga tersenyum lebar, mengepalkan tangannya. "The Healing harus terus tampil. Kita juga harus latihan rutin setiap minggu."
"Oke! Berarti keputusan kita udah bulat, ya. The Healing...." Kei mengulurkan tangannya ke depan, mengajak ketiga sahabatnya untuk melakukan tos seperti sebelum mereka tampil.
"Fighting!" seru semuanya dengan kompak.
Yuga berusaha sekuat mungkin untuk tidak menangis. Tidak boleh! Ia tidak boleh menangis!
"Gue laper, ayo kita cari makan," kata Yuga, berjalan duluan di depan.
"Ayo, lo yang traktir ya, Bro!" seru Ringgo lalu berjalan menyusul Yuga.
"Hmm," jawab Yuga pasrah. "Makan sepuas kalian, gue yang bayar."
"Whoaaa! Keren banget! Gitu kek dari dulu. Lo baru keliatan kaya raya kalau ngomong kayak gitu!" Ringgo tertawa puas.
"Oke, semua gue traktir kecuali Ringgo."
"Heh! Kok gitu?!"
Saat keempat cowok itu berjalan menuju kantin, ada seorang perempuan yang membawa setumpuk buku. Yuga berniat menghindar, tapi bahu mereka ternyata tetap bertabrakan. Membuat buku-buku yang perempuan itu pegang jatuh berantakan.
"Astaga, maaf!"
Yuga otomatis berjongkok dan membantu mengumpulkan buku-buku perempuan tersebut. Bukunya banyak sekali.
Buku novel?
"Thanks." Perempuan itu bicara tanpa melihat Yuga. Dia masih sibuk mengumpulkan bukunya.
"Lo suka baca novel? Habis ngeborong?"
"Iya. Ah, gue penulis, jadi butuh banyak referensi."
"Whoa, penulis?"
Akhirnya, perempuan itu melihat Yuga karena nada bicaranya yang terdengar tertarik. Namun, saat mata mereka bertemu, waktu rasanya berhenti sesaat. "Iya, memangnya kenapa?"
"Hah? Gue cuma ... kagum. Penulis bukan pekerjaan yang mudah."
"Nggak ada pekerjaan yang mudah, kayaknya." Perempuan itu mendengus geli. "But, thanks. Sekali lagi."
"It's okay." Yuga tiba-tiba penasaran dengan nama perempuan itu. "Lo dari sekolah lain?"
"Yep." Perempuan itu mengangguk, caranya menjawab pertanyaan hampir membuat Yuga terkejut. "Lo pasti murid sekolah sini, ya? Lo habis tampil? Oh, lo pasti band yang tadi heboh diomongin cewek-cewek."
"Bisa dibilang gitu." Yuga sedikit kecewa, karena perempuan itu sepertinya tidak menonton penampilan The Healing.
"Gue nggak suka keramaian, makanya sedikit takut buat nonton band kalian. Tapi next time, pasti gue nonton, kok." Perempuan itu bicara, seolah bisa membaca pikiran Yuga. Hebat sekali.
"Heh? Nggak masalah, kok. Tapi next time, gue jadi berharap lo beneran nonton."
Perempuan itu tersenyum, lalu bangkit berdiri. "Okay."
Yuga ikut bangkit berdiri, tanpa sadar tersenyum cukup senang. "Nama lo siapa?"
"Coba tebak."
"Hah?" Ternyata perempuan itu memakai tanda nama di seragamnya. "Oh, Arinka?"
"Tepat sekali." Arinka tertawa. "Oke, gue kayaknya harus pergi. Gue udah ditunggu seseorang."
Seseorang? Apa pacarnya?
Yuga terkekeh. "Oke. See ya next time."
Ketika perempuan itu tersenyum lalu berjalan melewati Yuga, jantung Yuga terasa berdetak jauh lebih cepat. Ia merasa ... belum mau berpisah dengan perempuan itu. Tapi, kenapa?
Yuga bahkan tidak sadar bahwa dirinya sudah ditinggal oleh ketiga sahabat berisiknya.
"Maybe, next time." Yuga sangat berharap bisa bertemu lagi dengan Arinka. Namanya begitu manis.
Tamat.
[]
Serius tamat ya, bukan prank lagi 😭
Huhu....
KAMU SEDANG MEMBACA
Cutie Pie [Short version]
Teen FictionTentang Yuga, yang nama belakangnya dirahasiakan. Yuga bosan dibilang imut, padahal sifatnya berbanding terbalik dengan wajahnya. Lalu, masalah terbesar Yuga adalah ... sudah ada tiga cowok memberikannya surat cinta sejak ia masuk SMA. Padahal, Yuga...