2 | Gengstar Goyang Itik

1.2K 138 108
                                    

Kursi kayu berbaris dengan rapi. Semua mata tertuju pada sebuah panggung, menyaksikan pertunjukan hari ini. Suara riuh tepuk tangan terdengar kala dua bintang melambaikan tangannya, membuat penonton begitu terpesona.

Sayang sekali tidak ada gemerlap lampu yang menghiasi, namun itu sama sekali tidak membuat artis kita berkecil hati.

Rio, mendadak beralih profesi menjadi seorang pembawa acara. Dengan penuh kebanggaan, dia menyambut kedua temannya untuk mulai menampilkan bakat terpendam mereka. Iya, di basecamp-nya lah mereka dapat berekspresi. Mengeluarkan semua kemampuan yang ada.

"Mari kita sambut! Aldo dan Raka ...!" teriak Rio dengan semangat.

Dua anak berseragam SMA terlihat berlari dan segera menaiki panggung yang telah dipersiapkan dengan susah payah.

"Terima kasih, kami sangat tersanjung," ucap Aldo sambil membungkukkan tubuhnya.

"Musik ...!"

Jam satu jam dua jam tiga kau tak datang-datang
Jam empat jam lima jam enam hari mulai petang
Jam tujuh delapan sembilan kok nyamuk yang datang
Kubanting pintu tarik selimut bobok manis saja

Senin Selasa gue pake OSIS
Rabu Kamis juga pake OSIS
Jumat Sabtu sampe Minggu gue pake pramuka

"Sabtu Minggu libur, bodoh!" Rio berteriak dari sisi kanan meja yang ditumpuk menyerupai sebuah panggung sirkus.

Suara sumbang Aldo mampu menghipnotis semua pendengarnya, semakin lengkap dengan goyang itik yang dilakukan oleh Raka. Tanpa rasa malu mereka justru begitu bangga, apalagi melihat Saras sedari tadi terus menganga.

"Stop, please. Gue cape ketawa mulu," pinta Saras sambil terbahak dan memegangi perutnya.

"Raka sama Aldo udah gila! Urat malunya udah putus kali, ya?"

"Emang udah putus, Sa. Barengan sama mutus ari-ari waktu bayi," Bagas terkekeh.

"Astaga temen gue gini amat."

Usai dengan pertunjukan konyolnya, Raka, Rio, dan Aldo kembali bergabung dengan Saras dan Bagas. Pandangan buruk orang lain mengenai mereka tidak membuat sebuah persahabatan hancur karenanya. Bahkan semua tampak tertawa bersama meski rembulan telah menyapa.

"Gue seneng punya kalian. Gue nggak peduli sama penilaian orang lain tentang kalian. Mereka cuma bisa berargumen berdasarkan penampilan aja, tanpa mereka sadari, mereka juga menunjukkan keburukannya. Karena secara nggak sengaja, mereka udah ngegibahin kalian yang bahkan kalian sama sekali nggak pernah mengusik kehidupan mereka," ungkap Saras kepada empat lelaki yang duduk di hadapannya.

Ada banyak definisi mengenai kehidupan yang fana. Apa pun definisinya, tetap saja dunia tak pernah berhenti bermain dengan fatamorgana. Di mana mata dapat dengan mudah tertipu begitu saja. Sayangnya hati tak mampu berucap, sehingga kebenaran sering kali tak terungkap.

"Pokoknya kalo lo butuh bantuan, kita selalu ada buat lo, Sa." Bagas mengacak rambut Saras. Dia tersenyum simpul, begitu pun sebaliknya.

Deg deg deg, degup jantung itu semakin menggila. Membuat keduanya memilih untuk saling memalingkan wajah. Bagas berdeham, mencoba menetralkan jantung yang sepertinya akan bocor jika tidak cepat ditangani akibat terlalu keras bekerja.

Tuuut ....

Suara itu berasal dari Raka. Semua mata terbelalak mendengar bunyi tiruan trompet dengan volume sedang, namun setelahnya ...

Dut ... dut ... duuut ....

"Raka! Ih, lo kok buang angin sembarangan, sih? Lo nggak bisa pergi dulu apa?" sewot Saras sambil menutupi hidungnya.

"Ya maaf, gue nggak sengaja. Namanya juga kebelet," sahut Raka membela diri.

"Dasar bocah jorok!" umpat Saras.

"Eh, ngaca ya Bund. Lo juga nggak kalah joroknya, 'kan? Lah lo mau makan pake ada ritual ngupil dulu."

Mata Saras membulat, dia melipat kedua tangannya di depan dada, dan mengedarkan pandangan dari Raka.

"Udah mau jam sembilan nih, bokap-nyokap gue pasti udah nungguin di rumah," ujar Saras sambil mengamati jam tangannya. "Gue balik dulu, ya. Bye." Saras meraih tas yang tergeletak di kursi lalu bergegas pergi.

"Hati-hati!" pekik Bagas.

"Gas." Raka menghampiri Bagas yang masih tersenyum menatap lurus ke depan.
Bagas menoleh ke arah Raka. Ekspresinya mengisyaratkan kalimat tanya. Sedangkan Raka, wajahnya lebih serius, tidak ada tanda-tanda lelucon sama sekali.

"Lo mau sampai kapan kayak gini?"

"Maksud lo?"

Raka tersenyum miring. Dia memalingkan wajah, lalu kembali bertanya kepada Bagas. Kali ini lebih diperjelas lagi.

"Lo mau sampai kapan nyembunyiin ini dari Saras? Jangan sampe dia tau dari orang lain. Itu bisa bikin dia jauh lebih kecewa." Raka pun berlalu, kembali bergabung dengan Rio dan Aldo yang tengah asik memakan camilan.

Raut wajah Bagas menggambarkan sebuah kegelisahan. Sepertinya akibat ucapan dari Raka yang penuh penekanan tadi. Tapi apa yang Bagas sembunyikan? Hingga senyumnya mendadak pudar.




_________________________
Mau ngomong apa sama Aldo?
Mau maki Raka juga boleh
Bagas nyembunyiin apa, sih?

Jangan lupa bintangin yups.
Biar aing makin semangat ngetiknya🤗

Hijrah Cinta (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang