“Sa, kamu udah tidur?”
Saras terkesiap. Dia sontak bangkit dari tidurnya dan menghadap ke sumber suara.
“Kamu ngapain ke sini?” tanya Saras dengan cepat.
Melihat Adam yang memasuki kamar Saras, Saras terlihat gugup. Mendadak jantungnya berdetak dengan kencang.
“Aku mau ngasih ini, Sa.”
“I-itu apa?” tanya Saras dengan gagap.
“Uang bulanan, Sa.”
Ingin rasanya Saras mengumpati dirinya sendiri. Untung saja dia tidak bertingkah aneh akibat beberapa pikiran buruk di kepalanya.
“Yang kemaren aja masih ada. Udah, kamu simpen aja. Suatu saat pasti kita perlu.”
“Enggak, Sa. Ini hak kamu,” ujar Adam sambil mengulurkan amplop di genggamannya.
“Beneran, yang kemaren masih, Dam. Lagian aku nggak pernah beli apa-apa.”
Adam tersenyum dan menghela napas. Meskipun terlahir dari keluarga kaya raya, tetapi Saras tidak pernah manja. Bahkan belanja kebutuhannya pun jarang dia lakukan.
“Kenapa senyum-senyum gitu? Awas, ya.” Saras memicing Adam sambil menyilangkan kedua tangan menutup tubuhnya.
“Ya udah, aku keluar dulu. Kamu istirahat ya,” ucap Adam sambil melangkah keluar.
“Adam,” panggil Saras. Membuat Adam menghentikan langkah dan membalikkan tubuhnya.
“Kenapa, hm?”
“Buat yang tadi sore ... makasih, ya.”
“Yang mana?” tanya Adam menggoda.
“Itu ....”
Adam terkekeh geli melihat Saras yang tampak malu-malu.
“Iya,” jawab Adam singkat.
Melihat Adam yang senyum-senyum sendiri, Saras menjadi salah tingkah.
“Apaan sih, senyum-senyum gitu?” Pipi Saras kini terlihat memerah. Dia mulai merasa menyesal karena mengucapkan terima kasih kepada Adam.
“Enggak, kok.”
“Jangan kepedean, ya. Itu karena aku ketakutan aja, kalo nggak mah ogah.” Saras bersedekap, lalu melengos dan mengerucutkan bibirnya.
“Jangan jutek gitu, dong. Nanti kupeluk lagi loh.” Adam tertawa kecil.
“Adam!” pekik Saras geram.
Adam pun langsung berlari keluar dari kamar Saras, sebelum semua bumbu cabai itu keluar dari mulut menyembur wajah tampan Adam.
“Sejak kapan aku bisa ngomong kayak gitu?” Adam nyengir kuda. Jujur, ini pertama kalinya dia mengatakan hal seperti tadi. Memang terdengar memalukan, tetapi ini semua dia lakukan untuk membuat rumah tangganya tetap harmonis. Menurut perkataan beberapa teman sesama guru di sekolah, sesewot apa pun seorang istri lama-kelamaan akan luluh jika sang suami tidak absen memberikan perhatian kepadanya.
“Saras, aku bakalan berjuang sampe kamu bisa buka hati buat aku. Kita emang sama-sama nggak kenal sebelumnya, tapi karena takdir Allah membawa kita ke sebuah bahtera cinta. Meskipun itu terjadi akibat perjodohan orang tua,” monolog Adam sambil mengingat bagaimana awal pertemuan mereka.🍁
Membangun rumah tangga memang tidak semudah membangun sekolah swasta. Namun percayalah, kesabaran dan ketulusan hati dalam menjalani akan menumbuhkan cinta yang luar biasa, cinta yang sulit diperoleh, yaitu cinta yang sesungguhnya.
Adam menerima Saras dengan apa adanya, tanpa mendengar bagaimana penilaian orang lain terhadap Saras. Tidak hanya Adam, keluarganya pun sama. Sungguh, Saras benar-benar beruntung mendapatkan mereka. Semoga saja dia tidak terlambat menyadarinya.
“Sa, aku berangkat.”
“Eh, itu dasinya miring,” ucap Saras sambil menunjuk ke kerah baju Adam.
“Oh, iya.” Adam mencoba membenarkan dasi hingga terlihat sempurna.
“Belom rapi, ih.”
“Tapi udah kurapiin, Sa.”
Saras mulai geram. Suami Saras selalu saja membuatnya merasa emosi.
“Yaelah, sini.” Saras pun mengambil alih. Kedekatan mereka yang hanya berjarak satu langkah, membuat jantung Adam bergemuruh hebat. Akhirnya dia dapat memandang wanita yang berstatus istri itu dengan jarak yang sangat dekat. Saras memang benar-benar cantik. Wajahnya yang putih bersih tampak bersinar di bola matanya.
“Nah, udah.” Saras tersenyum, melihat sesuatu yang mengganggu matanya sudah dapat dia atasi. Dengan posisi yang masih sama, tanpa sengaja Saras menatap Adam. Membuat mata mereka bertemu dan saling beradu pandang.
Astaga, ini jantung gue kenapa rame banget, sih. Malu-maluin aja. Btw gue baru tau kalo Adam seganteng ini. Kenapa gue baru nyadar, ya?”
“Ekhem, udah siang. Berangkat gih, ntar telat.” Saras melangkah mundur, menciptakan jarak di antara keduanya.
Seperti biasa, Adam mengulurkan tangan kepada Saras. Dengan wajah malas Saras meraih tangan Adam dan menciumnya.
“Assalamu’alaikum, istriku.”
“Wa ... eh, apaan sih? Kamu tuh belajar dari mana kayak gitu?”
“Ya nggak papa, ‘kan?”Adam menaikkan kedua alisnya, membuat Saras semakin merasa gila.
“Udah, sana berangkat. Stres aku lama-lama.” Saras mendorong tubuh Adam agar segera keluar dari rumah. Menyelamatkan keteguhannya agar tidak goyah.
“Suami gue kenapa sekarang jago ngegombal, ya? Ini pasti pengaruh buruk dari guru-guru di kantor, nih.”
***
Bisa ae Bang Adam gombalnyaa😭
Ternyata gini ya, rasanya punya suami pendiam yang berubah sok romantis😭😭Buat Bang Adam, semangat selalu.
Buat Saras, tuh suaminya dijaga kalo nggak pengen direbut orang.Buat readers, I love you so much😍
KAMU SEDANG MEMBACA
Hijrah Cinta (END)
RomansaCinta pertama memang sering kali dikaitkan dengan cinta sejati, namun bagaimana jika cinta pertama justru hadir untuk menyakiti? Saras, preman kelas yang menjadi ratu di sebuah geng. Dia merupakan anak tunggal dari keluarga berada, namun tingkahnya...