“Ketika Allah sudah berkata, ‘Kun fayakun’ maka segala apa pun tidak ada yang mustahil bagi-Nya."
•
•
Hari sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Suara adzan pun sudah berkumandang. Saras bergegas mengambil air wudzu dan melaksanakan salat Isya.“Assalamu’alaikum warohmatullah ....”
“Ya Allah, hanya kepada-Mu aku berserah diri. Hanya Engkau-lah sebaik-baik penolong. Aku memohon kepada-Mu, sembuhkanlah Adam Ya Allah. Sudah lama Adam terbaring di rumah sakit. Aku mohon Ya Allah, izinkanlah kami menata hidup kembali, memulainya dari awal lagi. Aamiin.”
Seberat apa pun masalahnya, jika Allah yang menjadi kepercayaan dalam hidup, maka semuanya tidak akan terlalu sulit. Karena sesungguhnya Allah tidak akan memberikan ujian di luar batas kemampuan hamba-Nya.
“Gue jadi keinget Adam. Pasti Adam sekarang kesepian. Apa gue ke sana aja, ya? Lagian sekarang gue udah lebih tegar.”
Usai salat, Saras bersiap. Dia benar-benar ingin pergi ke rumah sakit. Hari yang gelap bukanlah suatu penghalang baginya. Bukankah dulu dia biasa keluar rumah larut malam?
Jalanan Jakarta cukup lancar, sehingga Saras tidak harus menghadapi kemacetan lalu lintas. Setengah jam menyetir, akhirnya dia tiba di rumah sakit.
“Hai, Dam. Aku balik lagi, he he he. Kamu pasti kesepian, ya. Sekarang udah enggak, ‘kan? Mmm aku mau puterin suara murottal nih, sebenernya aku yang pengen ngaji. Tapi berhubung iqro aja aku belom lulus, sekarang pake ponselku aja, ya.”
Lantunan ayat suci membuat suasana begitu tenang. Segala kegundahan hilang begitu saja. Saras yang merasa nyaman tak lama tertidur. Dia menenggelamkan kepalanya di atas lipatan tangan dengan tepat menghadap ke arah Adam.
🍁
Mentari telah menampakkan pijarnya. Langit biru telah hadir bersama gumpalan awan putih yang membuat cuaca lebih cerah.
Sentuhan lembut mendarat di puncak kepala Saras, pasti Maryam atau Rena yang sudah datang se pagi ini. Saras membuka kedua mata, lalu mendongak dan meraih tangan tersebut.
“Hah?!” kedua bola mata Saras membesar.
“Sss-Saras ....”
“Adam. Ka-kamu udah sadar? Sejak kapan? Ya Allah, alhamdulillah akhirnya kamu sadar juga. Sebentar aku panggil dokter dulu.” Tangan Adam tergerak untuk meraih tangan Saras, tetapi sayangnya lolos begitu saja. Saras sudah pergi menghilang.
Saras kembali dengan sang dokter. Keduanya memasang wajah yang bersinar, simbol kebahagiaan.
“Selamat pagi Pak Adam ... saya periksa dulu, ya,” ucap Dokter yang hanya dibalas anggukan pelan oleh Adam.
“Kondisi Pak Adam sudah membaik, namun belum stabil. Jadi jangan terlalu banyak diajak berbicara ya. Jika kondisinya terus membaik, maka tiga hari lagi sudah boleh pulang.”
“Baik Dokter, terima kasih banyak.”
“Sama-sama, saya permisi.” Dokter pun keluar.
“Adam, Umi sama Abi harus tau ini. Aku kasih tau mereka dulu, ya.” Saras langsung menekan beberapa tombol. Namun jarinya berhenti menekan, kala merasa pergelangan tangannya mendapat sentuhan.
Perlahan, Saras meneliti tangan tersebut. Rupanya Adam. Saras menatap Adam dengan wajah bingung. Dengan tatapan lembut, Adam menggeleng.
“Tapi mereka harus tau, Dam,” protes Saras. Adam kembali menggeleng.
“Na ... nti a ... ja.”
Saras menghela napas, lalu mengangguk mengiyakan.
“Sa-ras.”
“Udah, kamu jangan banyak ngomong dulu. Denger sendiri ‘kan, tadi dokter ngomong apa? Jadi kamu harus banyak istirahat biar bisa cepet pulih. Mmm aku keluar sebentar, ya.” Belum sempat Adam mengiyakan, Saras sudah lebih dulu berlari keluar ruangan.
“Alhamdulillah ... makasih Ya Allah, Adam udah sadar. Alhamdulillah, Ya Allah.” Di luar ruangan, Saras terus melompat-lompat kegirangan. Seorang Saras tetaplah Saras, gengsinya terlalu besar untuk mengakui betapa dia sangat bahagia.
Sudah puas dengan aksinya, Saras kembali masuk ke dalam ruangan. Tampaknya Saras sangat berbakat dalam berakting, ekspresi wajahnya sangat berbeda. Dengan berjalan penuh ketenangan, dia berdeham dan duduk tepat di samping Adam.
“Kamu butuh sesuatu?” tanya Saras pelan.
Adam hanya menggeleng. Dia melepas alat bantu oksigen yang perawat pasang kepadanya.
“Kenapa dilepas?”
“Aku udah nggak papa, kok.”
“Tapi nafas kamu masih kedengeran ngos-ngosan gitu.”
“Aku udah nggak papa, Saras.” Adam tersenyum hangat. Dia menggenggam tangan Saras, lalu berkata. “Jangan pernah tinggalin aku lagi.”
Ketenangan dan ketegaran hati Saras seketika runtuh kala mendengar sebuah kalimat dari Adam. Matanya mulai memanas, setetes air mata itu kemudian meluncur mulus ke pipinya.
“Iya, aku nggak bakalan ninggalin kamu lagi. Aku janji.” Saras membalas genggaman tangan Adam. Untuk beberapa saat keduanya saling menatap. Saras bersyukur karena suaminya telah berhasil melewati masa koma, sedangkan Adam bersyukur karena istrinya telah kembali di sampingnya.
“Aku minta maaf,” ucap Adam.
“Aku yang harusnya minta maaf. Karena aku, kamu jadi kayak gini.” Saras menatap Adam dengan penuh penyesalan.
“Udah, ah. Dari tadi sad banget. Sekarang kamu istirahat aja, biar bisa cepet pulang. Kamu udah nggak betah ‘kan, di sini? Bau obat-obatan nggak enak banget.” Saras kembali dengan logat sewot yang dia miliki. Membuat Adam tersenyum melihatnya.
***
Segitu dulu, ya.
Jangan lupa vote dan komen, okay😊Tunggu next chapter😊
KAMU SEDANG MEMBACA
Hijrah Cinta (END)
RomanceCinta pertama memang sering kali dikaitkan dengan cinta sejati, namun bagaimana jika cinta pertama justru hadir untuk menyakiti? Saras, preman kelas yang menjadi ratu di sebuah geng. Dia merupakan anak tunggal dari keluarga berada, namun tingkahnya...