21 | Muhasabah Cinta

934 75 12
                                    

فَبِأَىِّ ءَالَآءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ
Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?

Seseorang tidak akan pernah tau apa itu penyesalan, betapa pedihnya dampak negatif dari sebuah kebohongan. Karena rasa itu hanya akan muncul di akhir sebuah peran. Maka sesungguhnya, lebih baik pahitnya kebenaran daripada manisnya sebuah kebohongan. Pada akhirnya, kebohongan hanya akan meninggalkan jejak kenangan hitam legam.

Adam yang mendapat kabar bahwa Saras kini berada di rumah Bram dan Rena, sesegera mungkin menemuinya. Dia tidak ingin terlambat dalam melangkah, hari yang gelap bukanlah sebuah alasan bagi Adam untuk menyerah. Rasa bersalahnya kepada Saras begitu besar, hingga mata yang sudah memberat pun dia abaikan. Meski sebenarnya, kebohongan ini juga memiliki alasan. Alasan itu adalah Saras. Namun tetap saja, tidak ada dusta yang dibenarkan.

"Saras, tunggu aku. Aku bakalan jelasin semuanya ke kamu." Adam terus menancap gas, kini dia mengendarai dengan kecepatan di atas rata-rata. Mengapa kini rumah mertuanya terasa begitu jauh? Tidak bisakah semesta mendukung Adam untuk menemui Saras?

🍁

Angin malam mendekap tubuh Saras dengan begitu erat. Sayang sekali, dekapan itu tidak sebanding dengan rasa sesak yang terlalu kuat. Ingin rasanya kembali ke waktu lalu, menghapus beberapa momen yang membuat hati menjadi pilu. Bagaimana lagi? Nasi sudah menjadi bubur, rasa sakit itu hanya bisa dinikmati hingga akhirnya menghilang dengan sendirinya.

Sedari tadi Saras terus menatap jendela, mengabaikan kamar tercinta yang kini sudah porak poranda. Biarkan saja, mungkin itu adalah simbol hati Saras saat ini. Hancur dan berantakan. Saras tersenyum miring, menatap diri yang kini terlihat kacau.

"Saras, kamu di dalem? Keluar dulu, ada yang harus kamu tau!" Rena terus berusaha mengetuk pintu, tetapi Saras tetap mematung dan membisu.

"Saras, ayok keluar dulu!"

Rena menghela napas, sepertinya percuma. Sekeras apa pun dia berusaha, nyatanya ada yang jauh lebih keras dari itu. Kepala Saras.

"Saras, A-Adam kecelakaan."

Deg!

Tanpa persetujuannya, air mata tiba-tiba menetes begitu saja. Saras bergeming dan terus meyakinkan diri bahwa itu semua pasti bohong. Dusta apa lagi yang dia mainkan?

"Saras, Mamah nggak tau apa masalah kalian. Tapi Mamah nggak mau kamu nyesel nantinya!" seru Rena di balik pintu.

"Adam beneran kecelakaan?" Saras membulatkan mata, lalu berlari menghampiri Rena yang sedari tadi terus bersuara.

🍁

Kini Saras sudah berada di rumah sakit, bersama orang tua dan kedua mertuanya. Semua tampak begitu cemas mengamati pintu UGD yang terus tertutup rapat. Sesekali terdengar tangis yang pecah dari Maryam. Bagaimana tidak? Anaknya kini tengah terbaring lemah, sedangkan Yahya hanya bisa menggenggam tangan istrinya seraya terus meyakinkan bahwa Adam akan baik-baik saja. Saras yang melihat semua adegan itu hanya mematung, tidak percaya.

Apa ini semua nyata? Bukan mimpi? Ini semua gara-gara gue. Lagi-lagi gue penyebabnya. Setelah Papah kena serangan jantung, sekarang Adam kecelakaan. Gue emang biang masalah.

Rena memeluk erat tubuh Saras. Dia tahu betul, di balik mulutnya yang bungkam terselip rasa cemas yang mendalam. Itulah Saras, seseorang tidak akan mengenalinya jika hanya memandang sisi luarnya saja. Sudah pernah dikatakan bukan? Sekeras apa pun kepala Saras, tetapi sebenarnya hati dia lembut. Meski tidak selembut sutera.

"Adam pasti baik-baik aja, Sayang. Kamu harus yakin itu."

Saras sudah tidak bisa menahan rasa sesak yang tertimbun di dalam dada, hingga air mata itu mengalir dengan derasnya. Rena pun turut menangis, sambil sesekali menepuk bahu Saras yang kini tengah rapuh.

Saras melepaskan pelukannya dari Rena, mengusap kasar air matanya, lalu berlari menuju suatu tempat. Matanya terus mencari, dan akhirnya menemukan tempat itu.

Mushola. Hanya tempat ini yang terus menghiasi kepala. Mengingat ucapan Adam di hari lalu, Saras yakin jika saat ini hanya Dia-lah yang mampu mengabulkan doa-doa yang terpanjatkan.

Dengan penuh harap, Saras menengadahkan tangan. Air mata yang terus bercucuran turut menamani dan menjadi saksi bahwa Saras pernah menangis untuk lelaki yang tercatat sebagai suaminya itu. Dengan balutan mukena putih yang menjuntai panjang, Saras terus menangis tersedu-sedu.

"Ya Allah, hanya kepada-Mu aku meminta. Hanya kepada-Mu aku berharap. Selamatkanlah Adam, kumohon selamatkan dia. Aku pernah menyesal karena pernah mengenalnya, tapi sekarang aku tidak ingin menyesal karena harus kehilangan dia Ya Allah. Aku mohon selamatkanlah Adam." Saras kembali menangis, mengingat semua kebaikan Adam yang terabaikan. Mengingat perhatian Adam yang Saras acuhkan. Semua seperti sebuah film yang tengah diputar kembali.

Usai berdoa, Saras kembali ke ruang UGD. Suasana sudah lebih baik, tidak ada tangis yang terus membuatnya semakin pesimis. Saras menghampiri Rena.

"Mah, gimana?"

"Dokter udah keluar, Saras."

"Hah, udah keluar? Alhamdulillah, terus gimana Mah? Adam baik-baik aja, 'kan?"

Rena menatap lembut kedua bola mata Saras. "Alhamdulillah, Adam berhasil ngelewatin masa kritisnya. Adam anak yang kuat," tutur Rena lembut sambil tersenyum. Terlihat jelas jika air mata itu menggenang di pelupuk mata, tetapi Saras yakin jika air mata itu adalah air mata penuh haru. Sama seperti dirinya saat ini.

"Apa Saras boleh masuk?"

Rena mengangguk pelan.

Perlahan, Saras mendekati Adam. Dia ingin kembali menangis, melihat semua peralatan medis itu terpasang di tubuh Adam. Dengan cepat Saras menyeka air mata yang hendak keluar.

"Adam, bangun. Jangan lama-lama di sini. Kamu harus kuat, biar kita bisa berantem lagi." Saras tertawa kecil, tetapi dua detik kemudian tawa itu memudar. Berganti dengan raut wajah penuh penyesalan.

"Maafin aku, Dam. Ini semua gara-gara aku. Aku emang biang masalah. Tapi kamu harus tau, kalo itu semua karena ... karena aku ... mulai jatuh cinta sama kamu. Sama perhatian kamu, sama kesabaran kamu ngadepin sifat dan sikapku, Adam. Jadi buruan bangun." Saras kembali menangis. Hatinya begitu sakit, membayangkan beberapa kemungkinan buruk yang akan menimpanya.

"Adam bangun, jangan bikin aku makin cemas." Frustrasi, tangis Saras semakin meraung. Bahkan kini tubuhnya ambruk, kakinya sudah melemas dan tidak sanggup lagi berdiri.

Saras kembali bangkit, menatap mata Adam yang masih saja terpejam. Mengapa adegan ini tidak seperti pada film-film biasanya? Di mana seseorang akan terbangun dan siuman setelah kekasihnya menyatakan perasaan.

Perlahan, Saras mendekatkan wajahnya, menatap Adam lebih dekat, lalu berbisik. "Aku-sayang-sama-kamu Khabeeb Adam Ghazanfar."

***

Gimana?
Hati masih aman?

Mau ngomong apa sama Saras?
Mau ngomong apa buat Adam?😭

Tunggu next chapter ya🙏

Hijrah Cinta (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang