32 | Sendu

908 68 0
                                    

Happy reading🤗
Semoga suka ya😊

Malam ini meja makan terlihat begitu rapi. Dengan beberapa lauk pauk yang turut menghiasi. Tidak banyak, hanya ada tiga macam masakan saja.

Saras tampak tengah membereskan semua piring dan makanan dan tersisa. Adam turut membantunya membawa beberapa piring dan gelas kotor untuk dicuci. Keduanya saling bekerja sama. Saras menyabuni piring dan gelas kotor, sedangkan Adam yang bertugas membilasnya. Jika mereka dalam kegiatan pramuka, sudah dapat dipastikan mereka akan dengan mudah menjadi pemenang karena kerja tim yang sangat bagus.

“Alhamdulillah, selesai.”

“Iya, alhamdulillah. Eh, aku mau ke kamar ya. Ngantuk,” ucap Saras sambil melangkah melewati Adam. Belum sempat menjauh, Adam sudah lebih dulu menahan pergelangan tangannya.

“Mmm ... Sa. Kamu ...  nggak mau tidur sama aku aja?”

Pertanyaan Adam membuat jantungnya berdetak kencang. Apa ini saatnya mereka benar-benar menjalani kehidupan normal layaknya suami istri pada umumnya? Saras terdiam sejenak. Dengan mata terpejam dia pun mengangguk, membuat Adam tersenyum simpul. Adam langsung menggenggam tangan Saras dan membawa Saras ke kamarnya.

Beberapa bulan kemudian ....

“Hati-hati ya.”

“Iya, assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikumussalam.”

Seperti biasanya, Adam harus berangkat mengajar. Dengan penuh semangat dia melangkahkan kaki. Cuaca hari mendung pun tidak membuat Adam turut meneduhkan senyumnya.

Di sepanjang koridor, Adam tidak absen memberikan senyuman ramahnya kepada para siswa. Tidak terkecuali kepada para guru maupun staf karyawan. Hingga akhirnya Adam memasuki ruang guru. Namun ada yang aneh. Semua orang di dalam ruangan tersebut menatap tidak suka kepadanya. Adam pun tidak mengerti, apa yang sebenarnya terjadi. Akhirnya dia memberanikan diri untuk bertanya.

“Maaf, ini ada apa ya? Kok kalian ngeliatin saya kayak gitu?”

Semua hanya terdiam. Lalu seorang lelaki paruh baya mendekati Adam dengan tatapan teduhnya.

“Kita kecewa sama kamu, Adam. Kamu yang kita anggap baik selama ini, kita bangga-banggakan sebagai guru teladan justru menyembunyikan sebuah kebohongan,” ucapnya lirih dengan penuh penekanan.

“Kebohongan apa maksudnya, Pak? Saya nggak paham,” tanya Adam yang semakin bingung.

“Hallah, nggak usah ngeles lagi deh. Ngaku aja, kita semua udah tau kelakuan buruk Pak Adam. Diem-diem Pak Adam itu ngambil uang sekolah, ‘kan?” sambar seorang wanita dari arah kanan Adam.

“Astagfirullah, ngambil uang sekolah? Untuk apa saya melakukan itu? Lagi pula atas dasar apa kalian menuduh saya?”

“Rekaman CCTV ini sudah menjelaskan semuanya,” kata wanita itu lagi sambil tersenyum meremehkan.

Adam menyipitkan mata, lalu mengamati rekaman CCTV yang diberikan kepadanya. Adam ingat sekarang, itu memang dirinya. Namun Adam dapat menjelaskan mengapa dia bisa ada di ruangan tersebut.

“Oke, itu memang saya. Tapi saya di situ bukan mau ngambil uang. Saya dikasih tau sama Pak Burhan kalo Bapak Kepala Sekolah katanya manggil saya. Makanya saya ke sana,” papar Adam. Namun Burhan langsung membantah ucapan Adam itu.

“Bohong! Saya nggak pernah bilang begitu. Oh, rupanya selain pencuri kamu juga seorang pembohong. Bermuka dua, munafik!” olok Burhan dengan nada tinggi.

“Astagfirullahal’adzim, padahal kemaren Pak Burhan emang bilang kayak gitu ke saya. Saya emang ngerasa aneh, kenapa waktu saya masuk ke ruang kepala sekolah nggak ada satu pun orang di sana. Bahkan waktu saya berpapasan sama Bapak Kepala Sekolah di depan tempat parkir beliau bilang kalau beliau tidak memanggil saya. Ternyata begini rupanya.”

“Udah nggak usah banyak omong lagi. Kamu itu ....”

“Ada apa ini ribut-ribut? Sampai terdengar dari luar.” Kedatangan kepala sekolah membuat semua terdiam. Termasuk Burhan yang tengah mengotot menyalahkan Adam.

“Adam, kamu ikut saya ke kantor.” Tanpa menunggu jawaban, kepala sekolah sudah lebih dulu keluar ruangan. Adam sudah dapat menebak, bahwa dia pasti akan mendapat sidang darinya.

“Jelaskan kepada saya, mengapa kamu melalukan itu. Saya rasa saya tidak perlu memberi tahu maksud ucapan saya, karena saya yakin kamu sudah mengetahuinya.”

“Demi Allah Pak, saya tidak melakukan itu. Saya tidak mungkin mencuri uang milik sekolah,” ucap Adam.

“Tapi semua bukti mengarah kepada kamu.”

“Tapi saya benar-benar tidak melakukan hal itu, Pak,” bantah Adam.

Kepala sekolah menghela napas, lalu berkata, “saya tidak ingin kejadian ini menjadi contoh buruk untuk guru-guru yang lain. Saya juga tidak ingin dianggap sebagai kepala sekolah yang lembek karena tidak dapat memberikan sanksi tegas kepada kalian. Jadi mohon maaf, dengan berat hati kamu saya pecat. Bukti sudah cukup jelas untuk menguak kasus ini. Saya tidak akan melaporkan kamu ke polisi, karena selama ini kamu sudah berusaha keras untuk mendidik anak-anak dengan baik.”

Dengan rasa kecewa dan masih tidak percaya, Adam menundukkan kepala. “Baik, Pak. Saya hanya berharap, jika suatu saat kebenaran akan terungkap. Sebelumnya terima kasih banyak atas kesempatan dan kepercayaan yang pihak sekolah berikan kepada saya. Kalau begitu saya permisi.” Adam tersenyum, lalu beranjak dan melangkah keluar.

“Ya Allah, gimana aku ngejelasinnya ke Saras? Terus aku harus kerja apa nantinya? Bantu kami menghadapi ujian dari-Mu Ya Allah.”

Setelah mengambil tas dan semua barang-barang miliknya di ruang guru, Adam pun kembali pulang. Sepanjang perjalanan Adam terus berpikir, ke mana dia harus mencari pekerjaan?

“Aku nggak tau, kenapa ini bisa terjadi. Kejadian ini terlalu cepet, sampe aku nggak bisa mikir apa dan kenapa seseorang tega memfitnah aku.”

“Kupikir selama ini aku nggak pernah bikin masalah, bahkan mereka juga keliatannya selalu ramah sama aku."

Mobil Saras yang Adam kendarai sudah memasuki halaman rumahnya.

“Assalamu’alaikum.” Adam membuka pintu.

Tak lama kemudian, Saras berlari dari arah dapur. “Wa’alaikumussalam. Loh, kamu udah pulang?”

“Kamu kenapa, Dam? Kok kayak murung gitu mukanya?” selidik Saras sambil mengamati wajah Adam.

Adam menghela napas jengah, lalu duduk di sofa ruang keluarga. “Aku difitnah nyuri uang sekolah, Sa.”

“Astagfirullah, siapa yang ngefitnah kamu? Terus kamu nggak bisa ngebela diri? Siapa orangnya? Biar aku hadepin sekarang juga.” Seketika jiwa preman Saras muncul, membuat Adam mengernyitkan dahi melihat Saras yang begitu tidak terima.

“Enggak usah Sa, percuma. Aku udah terlanjur dipecat.”

“Ka-kamu dipecat? Emang jahanam tuh orang yang ngefitnah. Udah aku datengin aja orangnya. Ciri-cirinya gimana? Kepalanya botak nggak? Kalo iya, berarti Pak Tejo. Dia emang suka bikin masalah. Aku aja dulu sering dipanggil ke kantor gara-gara Pak Tejo,” papar Saras dengan tanpa jeda.

“Bukan, Sa. Bukan Pak Tejo.”

Saras kemudian duduk di sebelah Adam. Dia tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Adam memang terlihat tenang, tetapi sudah pasti saat ini otaknya sedang banyak pikiran. Terutama masalah keuangan. Iya, mereka memang terlahir dari keluarga kaya raya. Namun, itu adalah milik orang tua mereka masing-masing. Karena setelah menikah, mereka menjelma menjadi keluarga yang sederhana.

“Ya udah, aku buatin minum dulu aja, ya?”

***
Ih, jadi gemes banget sama Saras. Bisa dibayangin nggak gimana ngototnya Saras? Apalagi waktu dia lagi bayangin mukanya Pak Tejo😭

Oh, Pak Tejo. Saras masih inget rupanya. Lelaki paruh baya berkepala pelontos😭

Tunggu next chapter guys🤗

Hijrah Cinta (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang