Happy Reading guys😉
•
•Seperti langit yang merindukan cahaya Sang Bagaskara, begitu pun dengan Saras. Dia merindukan kebahagiaannya. Dia merindukan hari yang penuh tawa, tanpa kesedihan dalam hidupnya.
Udara yang menyelimuti tubuh sama sekali tidak membuat Saras beranjak dari balkon. Saras terus menatap gemerlap lampu di perumahan sekitar. Menatap fokus ke sebuah titik, membayangkan jika itu adalah tempat biasa dia berkumpul dengan Bagas dan yang lainnya. Gelak tawa melintas di depan netra, melukis senyum indah Saras tanpa beban dan pikiran berat yang terus menyisir otaknya.
Saras tersenyum tipis, dia bersyukur pernah mengenal mereka. Setidaknya Saras pernah memiliki kesempatan untuk bahagia.
"Makasih, kalian pernah hadir dalam hidup gue. Makasih kalian udah ngewarnain hidup gue. Gue nggak pernah nyesel kenal kalian," monolognya sambil terus menatap lurus ke depan.
Hari semakin larut, Saras kembali ke kamarnya. Bagaimanapun dia harus beristirahat untuk menghadapi realitas di hari esok.
🍁
Dua hari setelah Saras wisuda, keluarga Adam kembali ke rumah Saras. Kali ini perbincangannya semakin serius. Mereka membahas tentang tanggal pernikahan Saras dan Adam. Saras yang pasrah, hanya bisa duduk diam di dalam kamarnya. Dia sama sekali tidak berniat untuk menemui mereka.
"Saras, apa kamu mau tetep di kamar aja? Itu Adam sama keluarganya ada di bawah, loh," tutur Rena.
"Saras di sini aja, Mah," jawab Saras tanpa menatap Rena. Dia justru menyibukkan diri dengan menggambar.
"Ini tentang tanggal pernikahan kamu sama Adam, Saras."
"Ya udah sih, tinggal ditentuin aja. Lagian nggak guna juga 'kan, Saras ikut turun. Pendapat Saras juga nggak bakalan didengerin." Saras benar-benar pasrah, dia hanya berharap jika semua akan baik-baik saja. Iya, bahkan dia tidak tahu apa yang akan terjadi setelah pernikahan nanti. Atau mungkin dia akan terus diam di rumah, pergi pun sendiri. Karena sekarang, dia tidak memiliki teman bicara. Tidak sama sekali.
Rena kembali ke bawah, menghampiri keluarga Adam yang tengah berbincang dengan Bram.
Saras yang merasakan jika perutnya lapar, diia turun untuk mencari makanan di dapur. Dia mengawasi ruang tamu, rupanya mereka sudah pulang. Saras bisa bernapas lega.
"Saras," panggil Bram.
Saras memejamkan mata, baru saja dia merasa lega. Kini tekanan darahnya akan kembali naik.
Saras hanya membalikkan tubuh dan menatap wajah Bram dengan ekspresi datar tanpa menjawabnya.
"Ke sini dulu," ucap Bram dari ruang keluarga.
Dengan malas, Saras menghampiri Bram dan Rena.
"Kamu nggak apa-apa, 'kan?" tanya Bram dengan mudahnya.
Nggak papa gimana, tertekan gini dibilang nggak papa.
"Hmmm."
"Tadi kita udah ngebahas tentang tanggal pernikahan kamu sama Adam, kita sepakat kalo kalian menikah minggu depan."
Sontak Saras membelalakkan matanya, cobaan apa lagi ini? What?! Minggu depan?
"Pah, kenapa secepet itu, sih?!" protes Saras.
"Ya tadi kamu nggak mau turun. Tadi kan kita mau tanya pendapat dari kamu," tutur Rena.
Napas Saras memberat, dia benar-benar ingin berteriak sekencang mungkin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hijrah Cinta (END)
Storie d'amoreCinta pertama memang sering kali dikaitkan dengan cinta sejati, namun bagaimana jika cinta pertama justru hadir untuk menyakiti? Saras, preman kelas yang menjadi ratu di sebuah geng. Dia merupakan anak tunggal dari keluarga berada, namun tingkahnya...