14 | Akad

1.1K 97 23
                                    

"Biarkan aku menemukan ketenangan dalam lelapnya tidurku. Kenyataan selalu datang dengan cara yang menyakitkan. Maka dalam mimpi, aku ingin bahagia. Meskipun itu tidak berlangsung lama."

"Oke, gue mau langsung to the point aja. Gue minta lo ke sini itu buat ngomong kalo kita harus bat ...."

Lah, itu bukannya Bagas? Hah, sama Gisya? Berdua? Sial. Kenapa gue jadi panas gini, sih? Kan gue yang nolak. Please nggak usah ngeliatin gue kayak gitu. Gue tau lo belum terima sama penolakan gue, tapi gue lebih nggak terima sama kebohongan lo. Bisa-bisanya lo nembak gue disaat lo masih punya pacar. Emang gue cewek apaan, hah?!

"Kita harus nikah," sambung Saras setelah terjeda beberapa saat.

"Maksud kamu, Sa?" spontan Adam menatap Saras. Dia tidak percaya dengan apa yang baru saja Saras katakan.

"Iya, aku mau ngomong kalo kita harus cepet nikah," lontar Saras dengan volume suara yang sengaja dibuat keras. Saras melihat wajah murung itu dari balik kaca. Bukan hanya Bagas, Saras pun sama. Tetapi dia tidak akan melakukan hal bodoh untuk kedua kalinya. Menurutnya, kebohongan Bagas itu tidak dapat dimaafkan. Saras sebagai ratu preman merasa bahwa diduakan termasuk tindakan yang merendahkan.

Beralih dari Bagas, Saras mendapati Adam yang masih mengerjap. Apa yang baru saja dia ucapkan sampai Adam menatapnya begitu? Seketika mata Saras memelotot kala mengingat ucapannya tadi.

Hah, lo bodoh Saras. Ngapain ngomong kayak gitu? Dasar tolol. Ke mana kata-kata mutiara yang udah lo siapain? Astagaaa tolol banget!

"Gu-gue pulang." Saras beranjak dan meninggalkan Adam yang masih bertanya-tanya.

Bagas masih mengamati dengan saksama punggung Saras yang terlihat semakin memudar. Tatapannya sama sekali tidak beralih. Bahkan telinganya mendadak tuli, tidak mendengarkan Gisya yang sedari tadi berusaha menyadarkannya.

"Sa, jadi ini alesan lo nolak gue? Lo udah punya cowok? Dan lo mau nikah? Gue nggak nyangka, Sa. Maksud lo apa? Lo anggep gue selama ini sebagai sampah lo doang? Sial emang lo Sa," desis Bagas. Dia terlihat begitu kecewa. Mengapa dia semarah itu? Bukankah mereka berdua sama? Sama-sama saling menyakiti.

🍁

"Ah, bodoh! Ancur semua rencana gue!" teriak Saras. Dia terus memukuli setir mobilnya.

"Terus sekarang gimana? Mana tuh cowok resek udah cabut duluan."

Merasa otaknya sudah buntu, Saras memutuskan untuk pulang. Pada akhirnya, takdir tidak dapat dihindari. Sejauh mana berlari, tidak akan membuat seseorang meninggalkan kenyataan hidupnya. Semua hanya tertunda dan akan kembali menyapa.

Saras kembali dengan wajah yang murung, tatapannya seperti sudah siap untuk menerkam mangsa. Kali ini aura premannya sangat kuat, membuat orang-orang di sekelilingnya bergidik ngeri. Jika sudah begitu, Rena dan Bram pun memilih diam hingga dirasa emosi Saras sudah mereda. Karena percuma saja, memaksakan bertanya akan membuat Saras semakin murka.

"Apa nggak ada keajaiban buat gue, ya?" Saras menjatuhkan tubuhnya di atas kasur. Matanya menatap langit-langit dengan sesekali menghela napas jengah.

"Gue beneran harus nikah? Gue nggak bisa bayangin nasib gue ke depannya," monognya pasrah sambil menutup wajah dengan kedua telapak tangannya.

Hijrah Cinta (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang