22 | Kamu dan Kenangan

919 72 4
                                    

"Terkadang semua menjadi berkesan, saat cerita telah menjadi kenangan dan tokohnya telah menghilang."

Bayangan selaksa kisah melintas di depan netra. Canda tawa tergambar jelas dengan eloknya. Membuat seorang Saras tersenyum seketika. Namun, baru saja sejenak bahagia, bayangan itu memudar dan hilang begitu saja. Nahas, tidak ada yang dapat Saras perbuat. Selain membiarkan air mata yang mencuat.

Dalam keheningan malam, Saras mendekap diri. Sejak pulang dari rumah sakit, Saras enggan untuk berbicara. Dia pun menolak untuk pulang ke rumah Bram dan Rena. Saras memutuskan untuk kembali ke rumah kecilnya.

"Gini, ya rasanya sendiri. Kemaren waktu ada Adam nggak sesepi ini. Ya walaupun ngeselin, senggaknya gue punya temen ngobrol," monolog Saras seraya menatap kosong ke depan.

"Kenapa gue ngerasa kehilangan ya, Adam nggak ada di rumah? Apa gue mulai terbiasa sama dia?"

Saras sendiri masih belum memahami perasaannya. Terkadang dia ingin menjauh dari Adam, tetapi di waktu lain dia tidak ingin kehilangan Adam. Itulah hati, perubahannya sering kali tidak dapat diprediksi.

"Adam, lagian kenapa lo sampe kecelakaan, sih? Padahal lo biasanya paling hati-hati kalo urusan bawa mobil."

Lelah dengan semua situasi dan kondisi, Saras tertidur pulas dengan wajah yang tampak mengenaskan.

🍁

"Adam!" pekik Saras. Dadanya naik turun dengan cepat. Saras langsung terduduk dan mengusap kasar keringat di pelipisnya. Sepertinya dia baru saja bermimpi buruk.

"Adam nggak mungkin meninggal. Nggak," monolog Saras sambil menggelengkan kepalanya.

Sudah satu pekan sejak tragedi kecelakaan, Adam belum juga sadar. Kecelakaan tunggal yang dialami Adam cukup parah, bahkan menurut seorang saksi, mobil Adam berguling hingga beberapa kali. Untunglah, sebelum mobil meledak Adam sudah berhasil dikeluarkan. Jika tidak mungkin saat ini Saras sudah menyandang status janda muda.

"Kenapa gue mimpi kalo Adam meninggal, sih? Mana sad banget lagi." Saras mengerjap, lalu melirik ke kanan dan ke kiri sudut ruangan.

Saras beranjak dari atas kasur, berjalan menuju kamar mandi.

Dia harus benar-benar mandiri, tidak seperti biasanya yang selalu diperlakukan layaknya seorang ratu, kini dia harus menyiapkan sarapannya sendiri. Sesekali Saras berhenti mengunyah kala mengingat saat dirinya menyantap makanan bersama Adam. Meskipun hening, tetapi jantungnya begitu ramai.

Tidak ada suara mengaji maupun lantunan sholawat dari Adam yang menenangkan. Saras hanya bisa mengamati Kitab Suci Al-Qur'an yang tertata rapi, juga beberapa alat musik yang tetap pada posisi tanpa sentuhan tangan suaminya itu.

Usai membereskan rumah, Saras bersiap-siap untuk pergi ke rumah sakit. Menjenguk Adam dan menanyakan kepada dokter apakah sudah ada perkembangan atau belum.

🍁

Setibanya di rumah sakit, Saras bergegas ke ruang di mana Adam dirawat. Saat memasuki ruangan tersebut, sudah ada beberapa buah yang tergeletak di atas meja. Tampaknya ada orang yang baru saja datang. Maryam dan Yahya memang sengaja tidak menunggu Adam, hanya saja mereka selalu memantau perkembangan anaknya itu dengan bertanya kepada dokter.

"Hai, Dam. Apa kabar? Aku dateng lagi, nih. Lagian kamu sih, pake sakit segala. Kan jadi ngrepotin aku. Ayok dong, bangun. Aku kangen masakan kamu. Udah lama juga aku nggak denger kamu ngaji sama sholawatan. Eh, kamu tau nggak? Sekarang aku udah jago masak loh. Siap-siap aja, nasi goreng kamu bakalan kalah enak sama nasi goreng buatanku." Saat tengah asik mengobrol, mata Saras membelalak kala melihat Adam menitikkan air mata. Saras segera mencari dokter untuk mengatakan hal ini.

Susah payah mencari, akhirnya Saras dapat menemukan dokter yang tengah memeriksa pasien lain.

"Itu tadi adalah bentuk refleks dari tubuh pasien. Mungkin dengan diajak berbicara seperti tadi, akan membantu mempercepat proses pemulihan saudara Adam. Dorongan dari orang-orang di sekitarnya, orang-orang yang sangat dia cintai juga bisa memengaruhi perkembangan kesehatan pasien. Jadi sering-sering ajak pasien berbicara, ya."

"I-iya, Dok. Terima kasih."

"Sama-sama, saya permisi dulu." Dokter tersenyum ramah, lalu melangkah keluar ruangan.

"Kupikir tadi kamu bakalan sadar. Ternyata cuma bentuk refleks. Ayok dong Adam, kamu harus cepet siuman. Aku ... aku kangen sama kamu." Saras menatap Adam lekat-lekat.

"Ah, udahlah. Kamu ngeselin, aku mau pulang aja. Aku pulang nih, beneran pulang." Saras berpura-pura melangkah keluar seakan seseorang yang sudah tidak waras. Bisa-bisanya dia menakut-nakuti Adam yang masih belum sadarkan diri.
Putus asa, dengan langkah yang pelan Saras kembali duduk di samping Adam.

"Kamu nggak capek apa tiduran mulu? Kamu nggak pengen keluar? Pasti murid-murid kamu juga udah pada kangen diajar sama guru mudanya. Kemaren aja anak-anak centil itu pada ke sini. Katanya mereka pengen cepet-cepet diajar lagi sama Pak Guru Ganteng. Ngeselin, 'kan? Padahal jelas-jelas mereka tau kalo aku istri kamu. Tapi dengan seenak jidat mereka ngomong gitu."

Saras mengeluarkan tisu basah dari dalam tasnya. "Adam, kamu harus bangun. Kamu tuh udah berhari-hari loh nggak mandi. Emang nggak risih?" Meski tidak mendapat jawaban, Saras tetap saja terus bertanya. Kali ini sambil mengelap tangan Adam.

"Nah, kamu udah bersih sekarang. Jadi nanti kalo ada yang dateng buat jenguk kamu lagi, kamu nggak bau kecut." Wajah ceria yang sedari tadi dia tampakkan mulai memudar. Air mata kembali menetes membasahi pipi. Saras membuang tisu basah yang tengah dia genggam. Rasa putus asanya kembali menyelimuti hati, sekarang Saras sudah benar-benar menangis.

"Adam, aku mohon bangun. Jangan diem terus kayak gini. Aku janji, kalo kamu bangun nanti aku bakalan nurut sama kamu. Aku nggak males sholat lagi, aku bakalan buatin sarapan buat kamu, aku bakalan cium tangan kamu kalo mau berangkat ngajar. Pokoknya apa pun permintaan kamu bakalan aku turutin, tapi kamu harus bangun. Aku jadi ngerasa semakin bersalah, Adam. Aku tau ini semua salah aku. Aku minta maaf, tapi kamu harus kuat, kamu harus bertahan. Aku mohon cepet bangun, Adam." Emosi Saras meluap. Dia tidak tahu lagi harus berbuat apa. Rasanya semua sudah dia lakukan, tetapi Adam belum juga siuman.

Saras memutuskan untuk pulang dan kembali lagi besok. Saras selalu berharap, jika dia akan segera mendapat kabar baik atas perkembangan Adam. Ingin rasanya menginap di rumah sakit, tetapi Saras tidak akan sanggup jika harus terus melihat suaminya terbaring lemah. Karena itu membuat dadanya sangat sesak. Jadi dia memilih untuk mendoakan keselamatan Adam dari rumah. Di mana pun tempatnya, Saras yakin jika Allah akan selalu mendengarkan setiap rapalan doa yang dia panjatkan.

***

Huwaa gimana?
Kok sad, ya.😢

Buat kalian, hargailah siapa pun yang ada saat ini, okay. Jangan sampe nyesel kayak Saras😭

Tunggu next chapter, guys.

Hijrah Cinta (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang