18 | Drama

785 80 13
                                    

Terbebas dari Adam membuat Saras lebih lega. Setidaknya dia harus menyelamatkan detak jantung yang semakin menggila. Tapi sungguh, ini bukan perasaan apa pun. Iya, bukan. Sepertinya begitu.

Saras kembali melanjutkan niatnya tadi untuk ke dapur. Mengamati beberapa sayur-mayur segar yang terus melambai. Mungkin dia harus mencoba resep terbaru yang dia ambil dari media sosialnya. Jari lentik Saras mulai tergerak. Kubis, wortel, kentang, daun bawang, dan beberapa bumbu lainnya sudah berjajar di atas meja. Di tengah kesibukannya, Adam menghampiri. Dia tersenyum, meski sering mendapat tatapan tajam dan ucapan pedas dari Saras, Adam yakin jika suatu saat Saras akan membuka hati untuknya. Ini hanya tentang waktu.

Semua sayur telah dipotong, air pun sudah mendidih. Satu per satu jenis sayuran dimasukkan ke dalam panci. Dengan tambahan gula dan garam secukupnya, juga penyedap rasa membuat sayur sup ala Saras menjadi lebih sedap. Ini bukan kali pertama, namun sudah ke sekian kalinya Saras mencoba. Mulai dari sup makaroni, sup buntut, bahkan sup ayam. Menurutnya, ini lah yang paling enak.

"Mateng, Sa?"

Saras menyeruput sebuah kuah, lalu tersenyum. Bukan kepada Adam, melainkan kepada sayur di depannya. Adam yang penasaran pun ikut mencicipi.

"Enak, Sa."

"Serius?" tanya Saras dengan spontan. Wajahnya begitu bersinar, akhirnya dia berhasil juga. Resep terbarunya memang benar-benar mantap. Sup biasa untuk pemula sangat lah tepat.

Adam mengangguk layaknya anak kecil yang ingin dimanja ibunya. "Ini cuma tinggal tambahin bawang goreng di atasnya, Sa biar lebih harum aromanya. Beres deh."

Saras mulai mengupas bawang, sesuai ucapan Adam. Dia ingin membuat bawang goreng. Namun tiba-tiba dia menangis. Bukannya iba, Adam justru menertawakannya.

"Sini-sini." Adam meniup kedua mata Saras. Untuk beberapa detik keduanya saling beradu pandang. Sebuah adegan yang selalu Saras hindari. Tetapi kali ini benar-benar terjadi. Bagaimana ini? Saras hanya bisa terdiam. Menatap Adam sedekat ini membuatnya merasa terancam. Tatapan Adam yang teduh membuat dada Saras bergemuruh. Tidak ingin jantungnya bocor, Saras menepis tangan Adam, lalu memberikan bawang yang dia kupas tadi. Biarkan chef rumahan beraksi seperti biasanya di pagi hari.

"Sa, ambilin minum dong," pinta Adam.

"Dih, males banget. Ambil aja sendiri."

Adam menghela napas. 'Sabar' kata itu lah yang selalu tersemat dalam hatinya. Meyakinkan diri bahwa buah kesabaran selalu memberi kejutan yang menakjubkan.

Saras memutar bola matanya malas. "Iya, iya bentar. Hobi banget nyusahin orang." Saras mencebikkan bibirnya.

Suasana makan di rumah ini sangat tenang. Terlalu tenang hingga hanya suara sendok mengenai permukaan piring yang terdengar. Kikuk? Oh, sudah pasti. Baik Adam maupun Saras tidak ada yang ingin membuka percakapan. Saras dengan gengsinya, sedangkan Adam dengan rasa takut akan pengalaman di hari lalu. Pertanyaannya membuat Saras tersedak. Jadi diam menurutnya lebih baik saat ini.

🍁

Mamah Call

"Halo, assalamu'alaikum. Mamah apa kabar?"

"Wa'alaikumussalam. Alhamdulillah baik, kamu sendiri gimana Sa?"

"Baik juga, Mah."

"Alhamdulillah kalo gitu. Mamah cuma mau ngasih tau kalo Mamah sama Papah mau main ke rumah kamu hari ini. Kamu di rumah, 'kan?"

Saras membulatkan matanya. Bukannya tidak senang, namun jika Rena dan Bram datang maka dia harus memainkan sebuah akting konyolnya bersama Adam. Iya, berpura-pura menjadi sepasang suami istri yang hidup bahagia. Bukannya seperti sekarang, menelantarkan suaminya tanpa memberi makan. Bahkan Adam lah yang sering kali memasak untuk keduanya.

"Saras di rumah, kok. Saras seneng banget kalo Mamah sama papah mau main ke sini. Ya udah Saras tunggu ya Mah," ucap Saras. Dia memejamkan mata, lalu tersenyum kecut.

Cobaan macam apa lagi ini? Ketenangan hidupnya selalu saja dipermainkan. Saras hanya berharap jika nantinya Bram dan Rena tidak menginap. Karena jika iya, maka dia akan mengalami masa yang amat sulit.

"Aduh, gue harus gimana nih?" Saras menggigiti kuku tangannya. Dia terus mondar-mandir memikirkan rencana apa yang harus dia siapkan.

Saras memutuskan untuk menghampiri Adam ke kamarnya, lalu melakukan sebuah kesepakatan. Tepatnya sebuah kebohongan. Kebohongan? Tentu saja Adam pasti akan menolak. Tetapi bukan Saras namanya jika tidak mampu membujuk seseorang. Dia mengatakan bahwa yang dia lakukan adalah demi hubungan pernikahan mereka. Meski ragu, namun akhirnya Adam setuju.

Saras mulai menarik napas kala mendengar suara bel dari depan rumah. Ujian hidupnya akan segera dimulai. Semoga saja tidak terlalu berat.

"Rumahnya bagus ya, Pah. Design-nya juga rapi. Adam emang pinter milih rumah." Rena mengamati setiap inci bangunan rumah minimalis itu.

"Iya, apalagi banyak bunga kayak gini, jadi mata Papah lebih seger. Pulang nanti Mamah bikin taman kayak gini juga, ya," pinta Bram kepada Rena.

Tengah asik mengamati berbagai jenis tanaman, terdengar langkah kaki dari dalam rumah. Tak lama pintu pun terbuka. Pemilik rumah menyambut Bram dan Rena dengan sangat ramah. Rena tersenyum bahagia kala melihat Saras dan Adam yang tampak begitu dekat. Saras menggandeng Adam dengan dihiasi senyuman lebar di pipinya. Begitu pun dengan Adam. Pemandangan yang luar biasa.

"Ayok, Mah, Pah, silahkan masuk," ajak Adam dengan sopan. Melihat Rena yang susah payah membawa beberapa buah tangan, dengan sigap Adam membantunya.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam."

Mereka semua berbincang-bincang, sesekali terdengar tawa Bram yang menggelegar. Menceritakan keburukan Saras saat masih kecil. Mulai dari menjambak, mencubit, bahkan menyakar anak tetangganya. Saras benar-benar malu, tapi Bram tidak henti-hentinya mengumbar aib anak tunggalnya itu. Saras hanya bisa menghela napas jengah.

"Kalian kapan nih, kasih Mamah cucu. Mamah udah pengen gendong cucu tau." Tiba-tiba suasana hening seketika. Adam dan Saras saling bertatapan, sedangkan Rena justru dibuat kebingungan karena ekspresi wajah keduanya.

Hari sudah mulai petang, Saras mulai gelisah. Apa dia benar-benar akan melewati masa sulit ini? Semoga saja dugaannya tidak benar. Mata Saras mengamati sebuah tas yang Bram bawa. Kali ini dia merasa bahwa semesta benar-benar pandai mengatur sebuah alur hingga membuatnya nyaris gila.

"Adam, Mamah sama Papah nginep satu malem, ya. Kita capek soalnya bolak-balik. Boleh, 'kan?"

"Oh, bo-boleh kok Mah. Kebetulan kita ada beberapa kamar kosong, jadi bisa Mamah sama Papah pake," ucap Adam sambil tersenyum sungkan, lalu menatap Saras yang mulai menekuk wajahnya.

Malam pun tiba, Saras mulai kewalahan memindahkan beberapa barang-barang miliknya. Karena terlalu banyak, sisanya dia masukkan ke dalam lemari agar tidak dicurigai. Kenapa dipindahkan? Iya karena tidak mungkin Saras akan tidur sendiri malam ini. Tetapi tenang, sebelum ini terjadi Saras sudah memikirkannya. Semua ini sudah dia atur dengan sangat detail.

"Kalian belum ngantuk? Mamah tidur dulu, ya."

"Udah. Kita udah ngantuk," jawab Saras dengan cepat. Jika dia mengatakan belum, sudah pasti Bram akan menginterogasi tentang pernikahan mereka. Saras menarik tangan Adam yang membawanya ke kamar. Huh, kapan kebohongan ini akan berakhir? Sepertinya malam ini akan menjadi malam yang sangat panjang.

_______________________________

Cobaan hidup emang nggak ada habisnya, ya.

Sekarang gimana?😭

Mau ngomong apa sama mereka?

______________________________

Tunggu next chapter ya😉

Hijrah Cinta (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang