27 | Hujan

820 64 5
                                    

"Tidak ada yang namanya puncak kesabaran,  kesabaran itu ibarat air. Tidak akan ada habisnya. Sama halnya dengan syukur, tidak akan ada ujungnya. Karena nikmat Allah selalu Dia berikan tanpa jeda."


Seakan tengah berlarian, angin kencang melintas begitu saja. Memaksa pohon meliukkan dahan ke sana kemari. Langit mengabu tanpa pijar sang mentari. Suara petir yang menggelegar disertai kedipan kilat dengan begitu cepat membuat setiap mata yang menyaksikan amat tegang.

Seperti biasa, Adam pulang mengajar dari sekolah pada pukul empat sore. Untunglah Adam mengendarai mobil, sehingga tubuhnya aman dari guyuran air hujan. Namun ada yang aneh. Setibanya di rumah, semua ruangan tampak gelap tanpa penerangan. Berulang kali Adam memanggil nama Saras, tetapi tidak ada jawaban sama sekali. Membuat Adam menjadi panik. Karena pintu rumah tidak dikunci tetapi tidak ada orang sama sekali. Adam mengecek ke setiap ruangan, juga terus memanggil nama Saras.

“Ya Allah Saras!”

Adam terkejut, melihat Saras yang sudah duduk dilantai dengan menutupi kedua telinganya. Bahkan dia juga menangis histeris. Adam sama sekali tidak mengetahui apa yang terjadi. Dia tidak tahu apa yang harus dia lakukan saat ini.

“Saras, kamu kenapa?” Adam terus menggoyangkan kedua bahu Saras, tetapi  Saras terus menangis tanpa menjawab pertanyaan Adam.

“Kamu kenapa? Saras, coba  kamu tenang dulu.”

Kini Saras mendekap lututnya sambil menenggelamkan kepala. Membuat Adam semakin bingung.

Der ...!

“Aaa ...! Stop ...! Udah cukup!” teriak Saras histeris.

“Saras ....” Tanpa persetujuan Saras, Adam memeluk erat tubuhnya. Membuat Saras seketika terdiam. Dekapan hangat itu membuat hati Saras menjadi lebih tenang, segala kecemasan pun menghilang.

“Udah, jangan takut. Ada aku di sini,” ucap Adam lembut.

“Aku ... takut.” Suara Saras terdengar sangat pelan, juga bergemetar.

Der ...!

“Aaa ...!” teriak Saras sambil mengeratkan pelukannya.

“Kamu takut petir?” tanya Adam sambil mengusap bahu Saras, menenangkan.
Saras hanya menjawabnya dengan anggukan cepat.

Siapa yang menyangka jika seorang ratu preman kelas takut dengan petir di tengah hujan deras? Apa pun itu, dengan adanya Adam saat ini membuat Saras lebih tenang.

Posisi mereka masih sama, walaupun sebenarnya Adam merasa kakinya cukup pegal karena harus menumpu di lantai. Adam berusaha melepas pelukan itu, tetapi Saras menahannya.

“Nggak papa Saras, jangan takut. Kan udah ada aku,” ujar Adam.

“Sekali ini aja Adam, aku takut banget.”
Kasian Saras, pasti dia ketakutan. Apalagi hujan udah turun satu jam sebelum aku pulang, dan selama itu juga dia pasti duduk diem di sini sendirian, batin Adam.

“Maaf Sa, aku baru tau kalo kamu takut petir. Kalo tau dari awal, aku pasti pulang lebih cepet tadi.” Adam melepas pelukannya, memegang kedua pipi Saras, dan menatapnya lekat-lekat.

“Aku janji, aku nggak bakal biarin kamu sendiri lagi kalo ada hujan deras kayak gini, okay.”

Saras mengangguk layaknya anak kecil yang tengah dinasihati seorang ayah.
“Udah mau adzan magrib, aku mau mandi dulu. Kalo kamu takut, kamu nunggu di kamarku aja. Gimana?”

Sama seperti sebelumnya, Saras hanya mengangguk.

Adam menggenggam tangan Saras dan berjalan perlahan menuju kamar Adam. Kesabarannya dalam menghadapi segala hal memang patut diacungi jempol. Di tengah tubuh dan otaknya yang lelah karena mengajar di sekolah, dia masih bisa menangani keadaan di rumah.

Setelah Adam selesai mandi, keduanya melaksanakan salat berjamaah. Hingga setelah salat isya, Saras mulai merasa mengantuk.

“Eh, kamu kan belum makan Dam,” ucap Saras yang baru menyadari.

“Iya nih, aku laper Sa.”

“Ya udah ayok! Aku udah masak tadi siang.”

Adam dan Saras pun berjalan ke dapur. Rupanya Saras sudah menyiapkan beberapa meni masakan. Tanpa basa-basi, Adam yang sudah kelaparan pun langsung mengambil piring dan beberapa lauk di atas meja.

“Kamu juga makan, Sa. Masa cuma aku, sih.”

“Aku nggak laper. Kamu aja yang makan.”

Aduh, malu banget nih gue. Mana tadi gue pake acara meluk Adam segala.

“Nanti kamu sakit Sa kalo nggak makan.”
Perdebatan kembali terdengar, baru saja keduanya tampak akur. Sekarang sudah kembali ke karakter masing-masing.

“Aku nggak laper.” Kali ini nada bicara Saras meninggi. Membuat Adam langsung terdiam dan kembali melanjutkan makannya.

“Loh, udah?”

“Alhamdulillah, udah kenyang Sa.”

Yah, pasti ngambek, batin Saras sambil memutar bola matanya malas.

“Ya udah aku mau tidur.”

“Mau aku anter ke kamar?” tanya Adam.

“Nggak usah. Hujannya udah reda. Udah nggak ada yang perlu ditakutin. Aku duluan ya, piringnya taro di situ aja, besok biar aku yang cuci.” Saras bangkit dari tempat duduknya dan melangkah pergi ke kamar.

Ego sering kali menjadi masalah terbesar dalam sebuah hubungan rumah tangga. Tak hanya itu, gengsi pun begitu. Sama-sama memendam dan tetap bungkam. Jangankan mengungkapkan, mengucap kata terima kasih saja Saras enggan. Lalu sampai mana Adam dapat bergelut dengan kata ‘sabar’?

“Inget Adam, Abi pernah bilang, ‘sabar tak bertepi, syukur tak berujung.’ Aku pasti bisa. Ini cuma tentang kesabaran aja, dan pasti aku bisa memetik hikmah manisnya. In syaa Allah.” Adam tersenyum seraya menatap bayangan punggung Saras yang sudah mulai menghilang.

***
Ada apa sih, sama Saras?😭

Nggak tau lagi mau ngomong apa sama mereka.

Kalian aja deh, yang komentar❤

Tunggu next chapter yupss😉


Hijrah Cinta (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang