30 | Terjebak Permainan

796 66 1
                                    

Untuk pertama kalinya Adam dan Saras pergi ke kafe bersama. Malam ini Adam mengajak Saras untuk makan di luar. Wanita pemarah yang kini mulai bisa merendahkan nada bicaranya itu tidak ada alasan untuk menolak. Bisa dibayangkan bukan, bagaimana perasaan mereka saat ini. Mungkin rasanya sama saja dengan first dinner.

“Ayok, Sa!” seru Adam dari luar kamar Saras.

“Bentar yaelah.” Perlahan pintu kamar Saras terbuka. Saras dibuat melongo dengan penampilan Adam malam ini. Dia tampak begitu tampan dengan jaket berwarna cokelat susu yang dikenakan.

Gila! Adam gantengnya nggak ngotak. Ini mah Bagas juga kalah. Btw daster kesayangannya ke mana?

“Sa?” Adam melambaikan tangan tepat di depan wajah Saras. Saras menggelengkan kepala, menyadarkan diri.

“Ayok,” ajak Adam.

Di dalam mobil, Saras terus membisu. Tidak seperti biasanya yang banyak bicara dan hobi marah-marah. Entah mengapa dia merasa tidak nyaman saat ini. Bahkan terlihat begitu kikuk.

Merasa ada yang aneh, Adam membuka suara. “Kamu nggak papa, Sa?”

Saras enggan menengok, dia tetap menatap lurus ke depan. “Enggak.”

Namun setelahnya, dia mengernyitkan dahi dan tersenyum kecut ke arah kaca. Sayang sekali, semua ekspresi itu terlihat jelas kala Adam mengamati ke arah kaca yang tengah menjadi tempat Saras menyembunyikan rasa gugupnya. Adam enggan mengolok, tidak ingin mengacaukan suasana. Dia hanya tersenyum simpul.

Aduh, udah sampe lagi. Duduk gini aja gue nervous apalagi kalo makan nanti?

“Ayok, Sa udah sampe.”

“Iya, sabar. Aku juga tau kalo kita udah sampe.” Mendengar nada bicara Saras, Adam kembali tersenyum.

Nada bicara kamu ini Sa, yang bikin aku terus mikirin kamu. Terus jadi Saras yang aku kenal, ya, batin Adam sambil menatap Saras lekat-lekat, sedangkan yang ditatap masih sibuk dengan wajah emosinya.

Adam mendekati Saras. Tanpa persetujuan Saras, Adam menggenggam tangannya dan berjalan masuk ke dalam kafe. Genggaman lembut itu membuat hati Saras begitu hangat. Antara gengsi dan menikmati, kali ini Saras tidak mendengarkan setiap suara yang terus membisikinya. Karena kali ini dia tengah merasa bahagia. Bahagia?

“Kamu mau makan apa, Sa?” tanya Adam dengan lembut.

“Aku ngikut kamu aja.”

“Ya udah Mbak, saya pesen yang ini sama ini. Masing-masing dua, ya,” ucap Adam sambil menunjuk ke beberapa menu makanan.

Sembari menunggu makanan datang, Adam mengajak Saras mengobrol. Namun Saras mengabaikannya dengan asik memainkan ponsel.

“Sa.”

“Hm.”

“Sa.”

“Apa sih, Dam?”

Adam menghela napas jengah. “Sayang,” panggilnya lagi.

“Ap ....” Sontak Saras membulatkan matanya, lalu menatap Adam yang kini meringis penuh kemenangan.

“Nah, gitu dong. Kalo ada orang di depan kamu itu jangan dicuekin, Sa. Belajar menghargai orang lain.”

“Iya, iya. Cuma liat sosmed sebentar tadi,” terang Saras sambil meletekkan ponselnya di atas meja.

“Kenapa?” tanya Saras dengan tepat menatap ke iris mata Adam. Membuat Adam berdeham.

“Baru ditatap gitu aja udah gugup. Tapi sok-sokan manggil sayang,” sindir Saras sambil bersedekap dan menyenderkan tubuhnya ke kursi.

“Enggak, siapa yang gugup?”

“Kamu lah. Oke, buat buktiin kalo kamu gugup apa nggak, sekarang kita main tatap mata. Yang kalah wajib menuhin permintaan si pemenang. Gimana?” tantang Saras sambil mendekatkan wajahnya ke Adam.

“Siapa takut.” Adam langsung mendekatkan wajahnya kepada Saras. Membuat Saras terkejut dan membelalakkan mata.

“Satu, dua, tiga, mulai.” Pasangan suami istri itu kini mulai saling menatap. Saras membuka matanya lebar-lebar. Berjaga-jaga agar tidak berkedip. Lain lagi dengan Adam yang terlihat santai dan menatapnya dengan penuh kelembutan.

Tolong ...! Adam ngeliatinnya bikin gue melting. Kenapa kayak gitu, sih? Hah, sial. Gue yang nantang malah gue yang tertekan.

“Yeah. Aku menang Sa.” Adam mengepalkan tangan dan mengangkatnya ke atas sebagai simbol kemenangan. Membuat beberapa tamu yang tengah makan pun seketika menatap mereka berdua.

“Hah? Ma-mana mungkin?” Saras menganga. Apa yang telah dia lakukan? Sekarang Saras harus mengabulkan apa pun permintaan Adam.

“Nah, sesuai perjanjian ya. Kamu harus ngikutin apa pun keinginanku.” Adam menaikkan kedua alisnya.

“Kamu curang, ih,” bantah Saras tidak terima.

“Loh, curang gimana?”

“Kamu tadi ... itu kamu ... ah, oke. Sekarang apa permintaan kamu?” tanya Saras sambil sewot.

“Emmm apa, ya? Bentar deh.” Adam mengamati langit-langit kafe. Entah apa yang akan dia minta. Namun, ini adalah kesempatan langka. Jadi dia benar-benar harus memikirkannya dengan baik.

“Oke. Aku mau, besok seharian kamu harus ngikutin semua permintaanku. Gimana?”

“Hah, sehari?!”

“Iya. Atau mau seminggu?”

“Eh, nggak. Bisa-bisa aku bener-bener jadi babu. Oke, tapi jangan yang aneh-aneh. Awas loh!” ancam Saras sambil mengerucutkan bibirnya.

Makanan pun datang. Seorang pelayan menyajikan beberapa menu yang dipesan. “Silakan menikmati,” ucapnya dengan ramah.

“Terima kasih, Mbak.”

Huh, gue nggak kebayang kalo besok gue bener-bener harus ngikutin semua kemauan Adam. Tapi ... nggak papa juga kali ya, sekalian belajar jadi istri yang baik. Gini-gini kan juga tau sedikit tentang agama.

***
Aaa baper ngggak sih? Aku nggak bisa bayangin gimana mleyotnya Saras waktu lagi ditatap sama Adam😭

Please, vote ya guys!

Tunggu next chapter. Bentar lagi tamat, serius.


Hijrah Cinta (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang