0 9 - Grateful

613 118 47
                                    

"Fanya?" ulang Nathan. "Nggak, tuh."

"Oh, yaudah," jawabku.

Berarti bukan temen mereka. Apa emang beneran sepupunya yang kemarin?

"Emang siapa?" tanya Nathan sambil mengambil es batu dari freezer.

"Gak tau, makanya gue nanya."

"Tapi kan, lo tau nama itu dari sesuatu dulu, terus tanya gue siapa tau gue kenal. Ya, kan? Gak mungkin tiba-tiba lo tanya nama asal aja gitu."

Hm, cerdas juga.

Aku memilih untuk terkekeh singkat, tidak menjawab dan mulai meletakkan gelas yang sudah siap minum ke atas nampan. Selesai!

"Gue aja yang bawa," ujar Nathan saat melihatku hendak membawa nampan itu.

Wah, gentleman yang-

"Lo lemah."

Unsend. Gak jadi, GAK JADI.

"Apa?" tanyaku langsung menendang tulang keringnya. Dia tertawa puas sambil sedikit meringis sakit.

Dipikir-pikir, ini pertama kali aku mendengar Nathan tertawa puas. Dia memang jarang sekali tertawa, paling hanya terkekeh kecil saja.

Apakah memang hukum paten jika rumahnya elit, humornya juga ikut elit?

Aku berjalan ke ruang tamu lalu langsung ternganga melihat Vera yang sudah cukup pandai memainkan game tadi.

"Ajarin gue juga!"

💨💨💨

"Udah jam lima. Pulang, yuk?" Vera bangkit berdiri setelah lelah kukalahkan. Berkat ajaran tiga pro di sekelilingku, aku berhasil mengalahkan Vera untuk yang keempat kalinya.

Meski Vera juga mendapat ajaran yang sama, tapi tidak selalu mendapatkan hasil yang sama.

Kata Nathan, "Main game bukan cuma sekadar main. Harus ada bakat asli yang terpendam, jadi kita cuma bantu mancing itu keluar."

Cih, sok puitis.

"Lo balik sama siapa, Ren?" tanya Vera sembari mengikuti Tora menuju arah motornya diparkirkan.

"Naik bus," jawabku enteng. Lagipula ini masih pukul lima lewat sedikit, langit belum terlalu gelap untukku pulang sendirian.

"Nath-"

"Ver," potongku langsung membuat Vera cengengesan, tepergok mau mengatakan hal yang aneh-aneh. Nathan yang sempat mendengar namanya dipanggil menyerngitkan keningnya.

"Lo mau gue anter?"

Vera menutup mulutnya terkejut. Aku juga mendelik tidak percaya.

"Serius?" Aku yang ditawari, malah Vera yang bertanya. Peter mengangguk.

"Ongkir lima puluh ribu."

"Hoho, memalak orang pelit adalah kesalahan terbesar dalam hidup," kataku sinis kepada Peter yang barusan memberi tawaran untuk mengantarkanku pulang. Sedangkan yang lain tertawa mendengar kalimatku barusan.

Akhirnya Peter benar mengantarku, hanya sampai halte di ujung gang Melati karena memang rumahnya dan rumahku berlawanan arah cukup jauh.

"Gue sebenernya mau kok, nganter lo sampe rumah," kata Peter di tengah perjalanan. Kami sudah berpisah dengan Tora dan Vera karena mereka mengambil jalan yang berbeda.

"Iya, pake ongkir, kan?"

"Nggak. Gratis."

Kesambet.

"Gak usah, halte aja." Aku menjawab sambil membayangkan reaksi Ibu, terutama Ayah, jika melihatku diantar pulang oleh seorang lelaki berpenampilan sangar yang baru saja kukenal dua hari yang lalu.

Tidak. Tidak.

"Jarang-jarang loh, gue baik gini." Peter mulai melambatkan laju motornya saat sudah mendekati halte.

"Simpen buat besok-besok, ya. Inget, lo masih utang niat baik sama gue." Aku menepuk bahunya dua kali sebelum turun dari motornya.

Peter tergelak.

"Makasih, Pet. Tiati," kataku. Dia menganggukkan kepalanya sekali sebelum kemudian menghilang dari pandanganku dalam sedetik dengan knalpot menderu.

Baru aja dibilangin "tiati".

Sembari melangkah masuk ke halte, handphone-ku berdering. Ibu.

"Hal-"

"Belum pulang?"

Aku meneguk ludah lagi. Mood Ibu lagi-lagi jelek hari ini, terdengar dari nada suaranya.

"Sudah," jawabku sambil mencoba berpikir apa yang membuatnya kesal akhir-akhir ini.

Aku?

"Ibu jemput sekalian dengan Ayah. Kamu di mana?"

"Di halte di depan kompleks Melati."

Telepon langsung ditutup. Aku menghela nafas enteng. Ya sudahlah, buat apa juga kupikirkan dalam-dalam.

Aku duduk di dalam halte sambil menikmati langit senja yang sebentar lagi sirna. Mengilas balik dua hari terakhir dalam hidupku yang terasa ramai karena ketambahan orang.

Yah, ini sebenarnya salah satu kebiasaanku–selain mencari WiFi– saat sedang bosan atau sedang menunggu sesuatu. Mengingat ulang setiap kejadian yang terjadi beberapa waktu yang lalu sambil berpikir betapa beruntungnya aku diberi kesempatan untuk melewati setiap momen tersebut.

Keren, kan?

Aku tersenyum bangga, terhanyut lagi dalam renungan sampai tiba-tiba mobil Ibu terlihat.

💨💨💨

agak anak indie emang :v

*up setiap sen, rab, jum

WiFi [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang