1 1 - Late

617 111 40
                                    

"Ren, gue mau ngomong sesuatu."

Aku menoleh, terkejut melihat Rega yang tiba-tiba muncul entah dari mana.

"Hah? Apa?" responku.

"Gue sebenernya," Dia diam sejenak. "Suka sama lo."

LOH? EH? HAH?

"Lo-"

"Rena, jangan!" Aku membalikkan badan, tambah terkejut melihat Nathan tiba-tiba datang.

"Jangan sama Rega! Nih, gue kasih tau password WiFi gue!"

Aku bisa merasakan mataku berbinar seketika dan aku langsung menggenggam tangannya, seakan melupakan Rega di belakangku.

"Apa? Apa password-nya?!"

"Password-nya.."

TINIT TINIT TINIT TINIT

Aku membuka mataku seketika begitu suara alarm berhasil menembus alam bawah sadarku, terdiam sejenak, lalu berdecak.

"Sial, cuma mimpi."

Aku bangun, mematikan alarm, lalu menguap sambil berusaha mengingat apa yang terjadi di mimpiku barusan.

"Ah, Rega suka sama gue." Aku tersenyum-senyum sendiri, namun kemudian kembali memasang wajah datar. "Cuma mimpi."

"Ah, Nathan kasi password WiFi-nya!" Aku kembali girang, namun kemudian kembali lesu. "Cuma mimpi."

Aku mengambil handphone-ku sambil tertawa dalam hati, heran terhadap diri sendiri yang begitu mencintai WiFi sampai terbawa mimpi.

Keningku mengernyit melihat betapa banyaknya pesan dan misscall dari Vera.

"Apasih, heboh banget. Emang baru jam ber- ENAM EMPAT TIGA?"

Aku mendelik, memastikan mataku tidak salah lihat. Iya, benar jam tujuh kurang seperempat!

Aku terlambat bangun!

TIDAK!

Secepat kilat, aku mandi dan memakai seragam. Aduh, mana jam fisika pertama! Aku tidak mau ulangan susulan di perpustakaan!

Tidak ada teman seperjuangan!

Aku sibuk mengancingkan seragamku saat Vera kembali menelepon.

"VER-"

"RENA! LO DI MANA, SIH? Kemarin katanya mau berangkat pagian buat ngapalin rumus! Ini udah jam-"

"Gue kesiangan!" teriakku putus asa. "Gue barusan bangun, lagi pake seragam! Gimana ini, Ver?! Ayah Ibu kayaknya udah berangkat kerja semua, pesen online kelamaan, bus juga gak mungkin. Apa gue lari aja, ya?"

"ITU TAMBAH GAK MUNGKIN!" Vera balas berseru, sepertinya ikut panik juga.

"Hiks, Ver! Gue gak mau susulan!" Aku memelaskan suaraku sambil memakai rok dalam sedetik.

"Gue suruh Peter jemput lo, ya?!"

"PETER? Gila! Gue mau ulangan! Bukan mau cari mat-"

"Justru itu!"

Dan tiba-tiba telepon ditutup. Aku masih tidak mengerti jalan pikir Vera, tapi yasudahlah! Ayo siap-siap dulu!

Aku memakai sabuk, menguncir rambut asal-asalan, mengikat sepatu sembarangan, lalu-

"DASI?!" panggilku seakan dengan begitu dasiku muncul begitu saja. Aku menggeram lalu berkeliling ke seluruh penjuru kamar mencari kain yang bisa menjadi penyebab aku dihukum itu.

Selesai bersiap, aku bergegas menyambar tas dan bersiap berlari ke sekolah saat terdengar derum motor mendekat.

"PETER?!" jeritku tak percaya melihat lelaki sangar itu datang sembari celingukan, sepertinya mencari yang mana rumahku.

Mendengar jeritanku, Peter menoleh lalu tersenyum lebar. Dia langsung menghentikan motornya di depanku.

"Buruan naik!"

"Hiks, penyelamat banget!" Aku langsung naik ke belakang motornya dan dia melesat begitu saja, membuatku sempat berpikir aku ketinggalan tadi.

Aku memegang erat kedua pundaknya karena tidak mungkin aku berpegangan di pinggangnya.

"Lo kok bisa cepet banget?!" tanyaku keras di tengah perjalanan yang terasa sangat cepat. Rasanya aku baru saja selesai bertelepon dengan Vera lima menit yang lalu. Sedangkan perjalanan ke sekolah saja hampir lima belas menit.

"Hebat, kan?" balasnya sombong. Aku mengangguk tak mau menyangkal.

Tentu saja. Dia bisa mempersingkat perjalananku tiga kali lebih cepat! Aku jadi menyadari betapa lambatnya Ayah atau Ibu menyetir. Atau memang Peter yang keterlaluan cepat?

Aku melirik arlojiku. Kurang dua menit lagi sebelum gerbang ditutup. Aku menggigit bibirku cemas, takut ketinggalan karena sekalinya gerbang ditutup maka tidak akan dibuka jika tidak melewati guru kedisiplinan.

Tidak!

"Pegangan!" teriak Peter tiba-tiba lalu menambah kecepatannya. Aku semakin meremas bahunya, melotot melihat rambu yang cukup jauh di depan sudah berwarna oranye. Tiga detik setelah warnanya berganti merah, Peter baru lolos melewati garis. Klakson kendaraan terdengar, namun aku sudah tidak peduli.

Motor berbelok memasuki sekolah, bertepatan dengan pak satpam yang sudah menutup gerbang hampir setengahnya.

"Permisi, pak!" seru Peter lalu melaju masuk dengan segera.

"Pet, puter balik," kataku gemetaran, masih tegang karena kejadian tadi.

"Hah? Kenapa?"

"Jantung gue kayaknya jatuh di jalan."

Peter tertawa kencang lalu mematikan motornya setelah terparkir rapi bersama motor yang lainnya.

"Lo mau duduk di sini terus?" Pertanyaan Peter membuatku tersadar aku masih mencengkeram bahunya. Aku tersentak lalu menarik tanganku, melihat seragamnya yang jadi kusut karena kuremas terlalu kuat.

Aku turun dari belakang Peter, hampir terjatuh saking lemasnya, lalu tanpa sadar membungkukkan badan.

"Makasih, makasih banyak! Gue gak tau lagi kalo gaada lo, Pet. Huhu, duluan ya!"

Peter hanya terkekeh dan mengiyakan, membuatku langsung berlari ke kelas. Memaksakan kaki untuk menambah kecepatan saat kudengar bel masuk berbunyi.

Aku sampai di kelas dengan keringat bertetesan dan jantung berdebar tak karuan. Dan di sana, Vera memandangku lega dengan penuh harapan.

"Rena, my savior."

💨💨💨

maaf kemarin absen :)

kuota tiba-tiba abis padahal kek nya udh ngehemat bgt huhu
mana wifi tetangga ganti password pula heduh ಥ‿ಥ

tau kan skrg Rena related sm siapa
wkwkwk

*up setiap sen, rab, jum

WiFi [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang