6 3 - Rebuild

471 43 35
                                    

"Gue gak setuju, tuh? Lo mau apa?"

Aku terbelalak lagi mendengar kalimatnya yang masih terdengar santai itu. Apa dia tidak sadar bahwa kalimatnya itu sangat berdampak besar kepada hatiku?!

Nathan tampak tersenyum geli melihatku yang masih tidak tahu harus memberi respon apa.

"Gimana? Apa mau putus beneran?"

Aku refleks menggeleng kuat-kuat, membuat Nathan terkekeh geli lalu mengelus rambutku yang basah. Mataku lagi-lagi berair melihatnya sedekat ini.

Dan tiba-tiba Nathan menarikku mendekat lalu mendekapku erat, membuat isakanku tiba-tiba meledak. Dia mengelus bahuku sambil menjagaku tetap berada di lingkaran lengannya. Bibirnya berada tepat di sebelah telingaku, membisikkan kata-kata yang lembut berusaha menenangkanku.

Iya, ya? Bagaimana bisa aku memutuskan orang seperhatian ini?

"Berhubung lo mikirnya kita udah putus," ucap Nathan tiba-tiba saat tangisanku sudah sedikit mereda. "Gue tembak, ya."

Nathan sedikit mengendurkan pelukannya, membuatku berhasil menatapnya dengan penuh tanda tanya.

Jemarinya meraih tanganku, menggenggam jemariku yang sedikit gemetaran, mengusapnya lembut dengan ibu jarinya yang terasa hangat di telapak tanganku.

Bola matanya menatap dalam ke arahku, begitu jernih sampai terasa menembus ke dalam sukmaku.

"Rena, gue sayang sama lo. Mau gak, jadi pacar gue? Lagi?"

Aku mau tidak mau terkekeh sambil terisak mendengar imbuhan kata terakhirnya, lalu mengangguk.

"Iya, mau. Mau banget."

Nathan tersenyum lalu mengeratkan dekapannya lagi, membuat kami bertatapan dengan jarak yang sangat dekat.

"Kenapa? Kenapa mau jadi pacar gue?"

Aku menatap tepat ke arah bola matanya yang tampak teduh meski hujan masih menderu. Senyumku mengembang di antara air mataku, bercampur air hujan yang membasahi tubuhku, dan Bunda yang terbaring di sampingku.

"Karena gue juga sayang sama lo."

💨💨💨

"Achoo!"

"Hmm. Tuh, kan?"

Aku meringis sambil terus menggosok hidungku yang gatal, pasti sudah memerah saat ini. Nathan menggeleng-gelengkan kepalanya sambil menghampiriku dengan tangan yang membawa handuk lain.

Kini aku sedang berada di rumahnya. Takut pulang ke rumah karena Ayah mengambil shift sore, jadi sekarang pasti Ayah masih di rumah. Dia pasti juga akan menanyaiku kalau aku pulang dengan keadaan basah kuyup.

"Lemah banget. Hujan-hujanan sekali, langsung sakit."

Aku terkekeh mendengar mulutnya mengomel namun tangannya tetap membantu mengeringkan rambutku.

Karena mendung, hari yang sebenarnya masih siang tiba-tiba terlihat seperti sudah petang. Aku duduk di lantai ruang tamu Nathan beralaskan handuk karena tidak mau membuat sofanya basah.

Untung saja aku tidak terlalu lama terkena hujan jadi baju dan tasku tidak terlalu basah walaupun cukup lembab juga. Setidaknya tidak separah rambutku.

"Gue minta maaf," ucapku sambil menunduk. Tiba-tiba teringat betapa buruknya sikapku kepadanya. "Gue selama ini udah-"

"Udah lewat," potongnya langsung. "Buat apa dibahas lagi?"

Aku semakin menunduk, merasakan mataku lagi-lagi berair. Kenapa aku menjadi sangat emosional begini?

WiFi [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang