5 1 - Risk

403 45 36
                                    

"Sampe rumah, tidur. Minum obat. Jangan telat makan. Banyak minum air putih. Kalo besok masih sakit, izin dulu. Gue janji bakal nyatetin materi."

Aku tersenyum geli mendengar ocehan Vera saat aku hendak naik ke belakang driver yang dipesankannya untukku.

"Makasih buat hari ini."

Vera tersenyum lalu mengangguk menjawab kalimatku. Dia menepuk pipiku dengan sayang lalu melambai saat motor mulai melaju.

Obat dari Rega tadi cukup ampuh dibandingkan dengan obat yang kuminum di rumah. Kepalaku cukup terasa ringan saat pelajaran fisika, namun sekarang terasa sakit lagi karena sudah cukup lama sejak aku meminumnya.

Mungkin ada efek ketergantungan.

Oh, iya. Siang ini seharusnya Ayah dan Ibu sudah sampai di rumah. Semoga saja tidak ada masalah yang menambah beban pikiran.

"Sudah, Pak. Di sini saja," ucapku begitu sudah mendekati rumah. Kepalaku mengangguk sambil berterima kasih saat bapak itu berpamitan. Vera sudah membayarnya, membuatku semakin sayang saja.

Aku berjalan ke rumah yang kira-kira berjarak empat puluh meter saat samar-samar kudengar perdebatan.

Helaan nafasku keluar begitu saja.

Seriously?

"Novi-"

"HENRY!" bentak Ibu memotong panggilan Ayah. Aku menghentikan langkahku diluar pagar karena kulihat Ibu sudah berada di ambang pintu depan.

"Sudah cukup! Aku tidak mau tahu lagi. Terserah kau mau gimana. Urus surat itu segera atau aku-"

Bola mata Ibu menangkap keberadaanku. Bisa kurasakan ada kebencian mendalam dari pandangannya. Aku masih diam mematung tidak tahu apa yang sedang terjadi. Ayah juga tampak tertegun melihatku.

Ibu menggeram, tampak menahan amarahnya. Lalu dia masuk ke mobilnya dan melaju keluar dari pekarangan rumah.

"Ata," panggil Ayah pelan. Aku menoleh lalu berjalan masuk perlahan. Ayah juga tampaknya masih syok. Entah karena perdebatannya dengan Ibu, atau mendapati aku mengetahui mereka bertengkar.

"Biarkan Ibumu sendiri dulu, ya. Sepertinya dia ada masalah jadi mudah emosi," ucap Ayah lalu dengan mudahnya terkekeh palsu.

Ayah menanyaiku beberapa hal seperti bagaimana dua hari di rumah sendirian. Syukurlah dia tidak menyadari wajah sakitku. Kami berbincang sejenak sampai akhirnya aku pamit ke kamar.

Aku merebahkan diri di atas kasur, menatap langit-langit kamarku, merasakan denyutan nyeri di kepalaku, lalu menghela nafas panjang.

Satu kali lagi.

Satu kali lagi aku mengintip ke surat yang tidak ingin aku ketahui.

Bola mataku tadi melihat sebuah berkas di meja ruang tamu. Judulnya tertera jelas, dengan huruf besar yang dicetak tebal.

"SURAT PERMOHONAN CERAI"

Aku berdecih.

"Harusnya gue gak kaget. Kan, emang udah gue prediksi bakal terjadi," gumamku lalu menutup mata. "Tapi, kenapa harus sekarang? Kenapa harus bebarengan sama semua masalah ini?"

Ah, aku rindu Bunda. Namun dengan keadaan seperti ini, rasanya aku tidak sanggup untuk ke mana-mana.

Sudahlah, tidur saja.

💨💨💨

"Ata?!"

"Ya?" balasku lalu keluar dari kamar dengan handuk di bahuku, tanda bahwa aku baru saja mandi.

WiFi [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang