6 8 - Bonus (3)

518 42 52
                                    

*part bonus hanya menceritakan beberapa hal yang terjadi setelah epilogue, waktu kejadian mungkin tidak benar-benar berurutan*

💨💨💨

"Kalo lo belom siap, gak usah hari ini gapapa."

Aku menggeleng mendengar kalimat Nathan sambil tersenyum menenangkan. Kakiku terus melangkah menapaki tanah diikuti Nathan.

Hari ini, aku sudah mempersiapkan diri untuk memberitahukan Nathan semua yang terjadi di keluargaku. Dan langkah pertama yang kuambil adalah pergi ke makam Bunda.

"Ini," kataku sambil berdiri di sebelah makam Bunda. Nathan ikut berdiri di sebelahku.

"Athaya Dewi Pricilla," gumamnya membaca batu nisan.

"Ibu kandung gue," ucapku langsung. Bisa kulihat Nathan menoleh seketika.

"Berarti yang sekarang-"

Aku mengangguk lalu secara otomatis semua cerita keluar dari mulutku. Hubungan Ayah dan Bunda, anak di luar pernikahan, Bunda yang meninggal, Ayah menikahi Ibu, pura-pura mengadopsiku, sampai mereka yang sedang dalam proses cerai ini. Semuanya kuceritakan secara singkat dan jelas, tak ingin berlama-lama terlarut ke masa lalu.

Aku menunduk sedari awal, tidak bisa atau lebih tepatnya tidak mau melihat ekspresi Nathan.

"Ibu masih tinggal di rumah, jadi gue ngerasa gak nyaman aja kalo ketemu dia, entah kenapa. Jadi sekarang gue nginep di rumah Paman yang sering kerja di luar kota."

Aku meliriknya sejenak. Dia tampak memandang jauh ke depan.

“Apa yang lo rasain sekarang?” Nathan bertanya tiba-tiba. Aku ikut memandang jauh ke depan.

“Gue baik-baik aja,” jawabku pelan. “Cuma kadang ada satu suara di batin gue, bilang kalo semua ini emang salah gue. Coba kalo nggak ada gue, pasti semua ini nggak bakal terjadi.”

“Semua manusia hidup pasti punya tujuan,” ucap Nathan lembut sambil menarikku mendekat. Aku menggigit bibir dalamku, merasakan atmosfir sendu yang memancing mataku berair.

“Gue tau,” jawabku nyaris berbisik. “Tapi kadang pikiran itu kalah sama batin jahat gue. Dan gue-“

“Lo benci sama diri lo sendiri?”

Tebakan Nathan yang begitu akurat membuatku mengangguk samar, semakin menenggelamkan kepalaku di bahunya. Bisa kurasakan lengannya melingkari tubuhku erat.

“Rena,” bisiknya tepat di sebelah telingaku. Sisi wajah kami bersentuhan, membuatku memejamkan mata sambil bernafas perlahan.

“Ya?”

“Gue mewakilkan diri lo sendiri, gue minta maaf.”

Dan isakanku keluar begitu saja. Tidak seheboh waktu hujan hari itu, tapi hatiku berdenyut jauh lebih nyeri dan air mataku menetes lebih deras. Satu kalimat Nathan barusan benar-benar sampai ke ruang hatiku yang tersensitif.

“Gue minta maaf, udah bikin lo kecewa sama gue. Gue minta maaf, udah bikin lo merasa nggak pantes buat hidup di dunia ini. Gue minta maaf, udah bikin lo pernah hancur dan nyerah. Gue minta maaf.”

Setiap kata “maaf” yang keluar dari bibir Nathan, membuat nafasku semakin tersengal.

Dia memposisikan dirinya menjadi diriku, menyuarakan batin damaiku, membuat ini terdengar seperti diriku tengah memohon maaf kepadaku.

Dia ingin aku mengampuni diriku sendiri.

“Gue janji, gue bakal jadi pribadi yang lebih baik. Gue janji, gue bakal jadi orang yang bersyukur dan berbahagia. Gue janji, gue bakal lebih menghargai hidup gue ini.”

WiFi [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang