1 7 - Live Well

553 99 25
                                    

gudmorning n happy reading<3

💨💨💨

Wungg

Bunyi hair dryer menggema di kamarku, bersamaan dengan dentingan piano dari Chopin yang mengalun lembut dari handphone-ku.

"Fancy," gumamku geli sambil menatap refleksiku di cermin.

Tidak ada kejadian yang istimewa sejak Nathan mengantarku pulang. Dia juga langsung pulang, aku masuk ke rumah, mandi sekalian menyuci rambut berharap dengan begitu mood jelekku juga hanyut bersama dengan air, dan di sinilah aku.

Instrumental Nocturne Op. 9 No. 2 tiba-tiba terhenti, digantikan oleh dering telepon. Malas mengangkat handphone, aku memilih untuk menyalakan mode speaker.

"Hal-"

"RENAAAAAA!"

Aku mengernyit sejenak. Rusak sudah segala kemewahanku karena teriakan Vera ini.

"Paan?"

"Kita kapan double date, HUEEE!"

Aku tertawa mendengar rengekan Vera. Seberapa manja apa pun dia, tetap aku tidak bisa merasa jijik.

"Nanti, ya. Tunggu Nathan peka."

"Serius, Nathan?" tanya Vera excited. "Katanya kemarin lebih suka Rega."

Aku mendengus, berusaha menangkal badmood yang hendak menyeruak masuk. "Lo lupa kalo dia udah punya pacar?"

Vera terkikik.

"Tapi, Ren. Lo sebenernya pengen gak sih, pacaran? Kan gue gak ngerti gitu, gue maksa gini lo terpaksa apa gak. Maklum, gak peka."

Aku menggerak-gerakkan hair dryer di tanganku untuk meraih bagian rambut yang basah sambil berpikir.

"Emm," gumamku. "Entahlah. Kayak separo iya, separo nggak."

"Kenapa iya? Kenapa nggak?"

"Iya, karena iri lihat lo sama Tora dan gak mau kalian ejek terus. Gak, karena mager."

"Serius, Ren!"

Aku tergelak.

"Apa, ya?" tanyaku kepada diriku sendiri. "Iya, karena gue pengen tau aja rasanya pacaran beneran. Lo tau, empat tahun lalu itu gak termasuk itungan pacaran."

Vera tertawa terbahak-bahak. Pasti, setiap kali aku mengungkit sendiri kisah cinta terakhirku.

"Gak, karena gue rasa gue belum siap. Ya, gue takutnya hubungan itu cuma berakhir main-main aja karena gak ada komitmen yang kuat."

"Wih," ucap Vera tampak terpukau. "Lo jangan kayak gini, Ren. Bikin gue pengen nampol."

Aku berdecak membuat Vera tertawa.

"Asal lo cinta, komitmen pasti terjaga."

"Nyenyenye," cibirku. Vera kembali tertawa.

"Eh ini btw, dari tadi berisik banget. Lo lagi di jalan, ya? Mau ke mana?"

"Ini hair dryer."

"Yaelah, matiin dulu kek. Susah mau ngomong kudu teriak-teriak."

"Justru itu, biar lo capek terus cepet udahan teleponnya," jawabku terus terang. Vera bertepuk tangan di seberang, memuji ide brilianku.

"Ada tugas fisika, Ren. Pap dong, hehe."

"Aduh, kamera gue lagi rusak, Ver. Lagi diservis di bengkel," godaku.

"Gak lucu."

Aku tertawa mendengar responnya.

"Ntar gue fotoin, gue juga belom ngerjain."

"Oke, makasih! Besok gue traktir!"

Telepon pun ditutup. Tidak, Vera bukan teman yang suka memanfaatkan. Karena kami sebenarnya mutualisme! Aku lebih jago di hitungan, sedangkan Vera lebih ahli di hafalan. Tugas fisika aku yang mengerjakan, tugas biologi Vera yang menyelesaikan. Sedangkan tugas kimia yang membutuhkan hafalan dan hitungan, kami kerjakan bersama.

Kurang sempurna apa lagi?

Ah, aku sayang Vera.

"Ata?!" Seruan Ayah tiba-tiba terdengar dari bawah. Aku melirik jam dinding, sudah pukul enam. Pantas saja.

"Di kamar!" jawabku sambil menyadari ternyata cukup lama juga aku mandi.

"Ayah masuk, ya?" Tiba-tiba saja suara Ayah terdengar dari balik pintu. Aku mengiyakan dan Ayah pun membuka pintu.

"Apa kabar?" tanyanya aneh. Aku mengernyit sebentar lalu mematikan hair dryer.

"Baik," jawabku seadanya.

"Sekolahmu bagaimana?" Ayah masih berdiri sambil bersandar di pintu. Aku menoleh ke arahnya sebentar lalu mengambil sisir.

"Sudah mendekati ulangan akhir semester ganjil, jadi semakin banyak tugas dan ulangan harian. Tapi Ata bisa mengatasi semuanya, kok."

"Tentu saja, haha. Kau kan, anak Ayah."

Aku terdiam sejenak, tersadar bahwa Ayah salah bicara. Namun aku memaksakan kekehan kecil supaya tidak canggung.

"Ayah ada apa tiba-tiba bertanya?" tanyaku mengalihkan topik.

"Hanya memastikan kamu hidup dengan baik."

Aku tersenyum lalu meletakkan sisir. Jika harus memilih antara Ibu atau Ayah, aku seratus persen akan memilih Ayah. Entah kenapa, dengan Ayah aku merasa lebih nyaman.

"Ata hidup baik, kok. Dan Ata akan terus hidup baik supaya bisa dapat beasiswa dan kerja buat kasih uang ke Ayah dan Ibu," jawabku dengan nada riang. Ayah tersenyum kecil.

"Kalau antara Ayah dan Ibu, Ata pilih siapa?"

Deg.

Apa ini?

Kenapa rasanya, aneh?

"Pilih Ayah," jawabku kemudian mendapati Ayah menatapku dengan pandangan mencari-cari, seakan benar-benar ingin meyakinkan bahwa jawabanku jujur.

"Kenapa?" tanyanya serius.

Tidak, aku tidak mau membicarakan ini.

Tidak sekarang.

"Karena Ibu galak," jawabku lalu terkekeh, berusaha memberikan atmosfir bercanda. Dan berhasil, Ayah pun tertawa juga.

Setelah memberikan beberapa nasehat dan semangat, Ayah turun ke bawah. Aku menghela nafas lalu duduk di kasur.

Aku tahu suatu saat pembicaraan ini akan datang. Namun aku tidak menyangka akan secepat ini.

Kalau sudah begini, apa aku bisa hidup dengan baik?

💨💨💨

hohoho~
(ಡ ͜ ʖ ಡ)

*up setiap sen, rab, jum

WiFi [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang