6 5 - Epilogue

592 47 65
                                    

Fix, aku tidak punya baju.

Berlembar-lembar baju berserakan di atas kasur, banyak juga yang masih menggantung di gantungan lemari, dan ada beberapa juga yang masih terlipat rapi di dalam rak lemari. Dan dengan penuh keyakinan, aku mengatakan aku tidak punya baju.

Bagus.

"Gue punya baju," gumamku akhirnya. "Gue cuma gak punya outfit."

Mataku meneliti lagi. Terdiam.

"Gak, gue ini punya outfit." Jemariku menggeser-geser hanger. "Gue cuma gak punya style. Ya, bener itu. Sip."

Frustasi.

Masalahnya, aku tidak tahu mau diajak Nathan ke mana. Kalau aku pakai rok, bagaimana kalau ternyata ke taman bermain? Kalau aku pakai blouse, bagaimana kalau ternyata ke pantai? Kalau aku pakai kemeja, bagaimana kalau cuma beli martabak?

Alay. Alay. Alay.

"Udahlah, pake piyama dulu aja. Ntar tanya dulu mau diajak kemana biar tau harus pake apa."

Dan dengan iman, aku memakai piyamaku lagi lalu berjalan ke ruang tamu.

Derum motor mendekat. Pas sekali.

Aku mengintip dari jendela sambil menenangkan detak jantungku.

Selepas "kejadian" kemarin, Ayah tiba-tiba menelepon menanyakan keberadaanku karena dia juga hendak berangkat kerja. Aku berkata aku sedang main dengan teman dan akan langsung pulang setelah itu.

Jadi, Nathan juga langsung mengantarku pulang karena hujan hanya tersisa gerimis. Saat perjalanan, dia berkata besok hendak mengajakku pergi tanpa mengatakan tempat tujuannya. Meninggalkan aku dan piyamaku yang masih kebingungan hendak pakai apa.

Aku keluar dari rumah, hendak membukakan pagar depan sambil memperhatikan kekasihku itu.

Nathan hanya memakai kaos oblong dan celana jeans biasa. Kalau itu mah, bisa dipakai di mana saja. Apa lagi dia memang tampan, pakai apa pun tetap keren.

Aku membukakan pagar. Nathan dengan segar berdiri di depanku, sedangkan aku dengan piyama dan wajah kusut menatapnya.

"Loh? Masih pake baju tidur?"

Aku cengengesan lalu menutup pagar saat dia sudah memasukkan motornya. "Gue gak tau mau lo ajak ke mana."

"Siapa yang mau ngajak lo ke mana-mana?" tanya Nathan lalu mengikutiku masuk ke dalam rumah. "Cuma mau ke rumah gue."

"Oh," jawabku sedikit kecewa namun kemudian teringat sesuatu. "OKE! Tunggu bentar."

Aku melesat menuju kamarku. Memakai jeans selutut yang biasa kupakai bepergian, kaos yang cocok, jaket, dan tas kecil.

"Yok," ucapku sambil turun ke ruang tamu.

"Wih, gak ada lima menit," pujinya sambil bangkit berdiri dari sofa.

"Emang kalo Sheryl berapa lama?" tanyaku penasaran.

"Hampir setengah jam."

Aku menyibakkan rambutku bangga lalu bersiap membuka pintu depan saat kusadari Nathan tidak mengikuti langkahku, membuatku mengernyit lalu terpaksa berbalik menghampirinya.

"Kenapa?"

"Gue kemarin ngasih dua, loh. Lo gak mau ngasih gue satu pun?"

Aku mengernyit semakin dalam lalu tiba-tiba tersadar apa yang sedang dia bicarakan. Wajahku langsung memerah sambil mengalihkan pandangan.

"Kan, gue gak minta juga."

Nathan hanya diam dengan ekspresi murung. Dalam imajinasiku, bisa kubayangkan dia seperti seekor anak anjing dengan kedua telinga yang layu dan ekor yang menjuntai lesu ke bawah.

WiFi [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang