2 5 - Distractor

507 89 23
                                    

enjoy!

💨💨💨

"Serius sampe sini aja?"

"Iya," jawabku meyakinkan sambil turun dari motornya yang kira-kira berjarak lima rumah dari rumahku. "Daripada Ibu liat terus ditanyain macem-macem."

"Gue sih, gak keberatan."

"Gue yang keberatan," bantahku langsung membuat Nathan terkekeh. Hm, dia banyak tertawa sejak tadi. Ada apa?

"Yaudah, makasih banyak. Lo hati-hati pulangnya," ucapku sambil membungkuk sedikit. Kebiasaan saat berterima kasih.

"Jangan kangen loh, ya."

"Gila apa?" jawabku santai padahal dalam hati meraung-raung.

Kok bisa kalimat seperti itu dibuat candaan? Sebenarnya aku atau dia yang berlebihan?!

Dan Nathan pun berlalu. Aku menunggu derum motornya benar-benar hilang dulu lalu berjalan ke rumah.

Handphone-ku bergetar. Aku melihat dari notifikasi, Ayah mengirimiku pesan yang menanyakan apakah aku sudah dalam perjalanan pulang.

Tuh, kan. Ayah dan Ibu pasti sudah pulang. Untung saja pilihanku untuk menyuruh Nathan tidak mengantar sampai depan rumah tepat sekali.

Aku tidak berniat mengirim balasan karena beberapa langkah lagi aku sudah sampai, membuat Ayah yang tampaknya cemas langsung menelepon.

Aku terkikik tanpa suara seiring telepon berhenti karena aku tidak mengangkatnya, berencana untuk langsung masuk dan mengejutkan-

Deg.

Aku terdiam dengan tangan yang bersiap membuka pagar rumah. Telingaku menangkap samar-samar teriakan dari dalam rumah. Walau tidak terdengar jelas apa yang dibicarakan, tapi aku bisa tahu ada perdebatan di dalam sana.

Kakiku melangkah mendekat sendiri dengan perlahan lalu bersembunyi di dekat mobil, seakan diperintahkan oleh hati yang penasaran.

"Kenapa tidak kau jemput?" Suara Ayah yang pertama masuk ke telingaku.

"Dia main di tempat yang jauh! Kau pikir aku tidak lelah seharian bekerja sehingga bisa pergi ke tempat dia berada?!" Ibu membalas, nada suaranya terdengar benar-benar membendung amarah.

"Itu sudah tanggung jawabmu!"

"Tapi bukan berarti aku sopir yang bisa mengantar dan menjemputnya ke mana pun!"

"Kau ibunya!"

"Tapi dia bukan anakku!"

Teriakan Ibu membuat keadaan hening seketika. Hening sekali sampai rasanya detak jantungku bisa terdengar ke dalam. Aku mengambil handphone-ku dan mengetik dengan jemari bergetar.

"Dia sudah hampir sampai rumah," ucap Ayah memelan selepas membaca pesan yang baru saja kukirimkan.

"Novi," panggil Ayah karena Ibu tidak memberi respon. "Kita sudah sepakat tentang ini."

"Ya, tapi keadaannya sekarang berbeda. Aku tidak bisa lagi, apa lagi jika tahu dia-"

"Itu sudah masa lalu," potong Ayah membuatku penasaran dengan apa yang hendak dikatakan Ibu. "Tidak ada pengaruh-"

"Tidak ada pengaruh?" ulang Ibu dengan nada tak percaya. "Coba kau yang ada di posisiku, kau pasti juga tidak akan-"

Tok tok tok

Jariku mengetuk pintu setelah memutuskan aku tidak mau tahu lebih banyak. Toh, suatu hari nanti aku juga pasti tahu.

Aku hanya ingin menundanya sebentar.

"Ata pulang," kataku dengan senyum begitu Ayah membuka pintu. "Maaf, Ata main kejauhan."

"Tidak apa, lain kali bilang dulu mau main ke mana. Ya?"

"Iya," jawabku lalu mendapati Ibu tengah menatapku dalam.

"Ata minta maaf, Ibu." Aku mengangkat suara karena tidak nyaman dengan tatapannya.

"Dengar kata Ayahmu." Dan wanita yang baru saja tidak mengakui aku sebagai anaknya tadi berlalu ke dapur.

Ayah langsung mengambil alih.

"Mandi lalu turun makan malam. Ayah sudah beli makanan tadi."

"Ata sudah makan kok, tadi di rumah teman. Ini masih sangat kenyang. Nanti kalau lapar lagi, Ata langsung makan," dustaku karena tidak mau langsung bergabung selepas mendengar percakapan tadi.

Ayah tersenyum lalu mengiyakan, membuatku langsung naik dan membersihkan diri.

Sambil membiarkan air shower membasahi tubuhku, aku terdiam. Padahal baru saja tadi perjalanan pulang aku rasanya bahagia, lalu tidak ada satu jam semuanya langsung berubah.

Seakan detik pertama aku sangat bahagia sampai rasanya tak layak, lalu detik kedua aku sangat hancur sampai hati pun koyak.

Seasyik itukah pekerjaan takdir?

Aku menghela nafas lalu mengambil sabun sambil tetap mencerna setiap perdebatan tadi. Walaupun sakit, aku tidak bisa membiarkan kesedihan mencegah akal sehatku. Setidaknya, aku harus tahu apa yang sedang terjadi saat ini.

"Kau ibunya!"

"Tapi dia bukan anakku!"

Ya, mungkin dari situ.

-

"Ibu, kartu keluarga ada di mana, ya?"

Aku melongokkan kepalaku ke dalam kamar Ayah dan Ibu lalu mengernyit karena tidak ada siapa-siapa di dalam.

"Loh, perasaan aku lihat Ibu masuk sini tadi? Apa sudah keluar lagi?" gumamku sendiri sambil melihat sekeliling. Bola mataku terhenti di map besar di atas meja kerja yang tampak penuh dengan kertas terlaminating.

"Ah, KK pasti di situ." Tubuh kecilku yang baru saja lulus sekolah dasar ini langsung masuk tanpa pikir panjang.

"Untuk pendaftaran SMP harus menyiapkan-" gumamku sambil membaca kertas catatanku. "Fotokopi KK, akta kelahiran, dan KTP orang tua. Akta aku udah punya fotokopiannya, tinggal KK sama nanti pinjem KTP Ayah Ibu. Beres!"

Aku tersenyum bangga melihatku yang bisa mengurus semuanya sendiri. Jemariku langsung meraih map tadi lalu membukanya sambil mencari kartu keluarga.

"Wah, ternyata ada yang namanya surat nikah." Mataku meneliti surat yang kebetulan kubaca. "Kirain cuma ada lahir."

Aku memilah-milah lagi setiap kertas laminating yang menumpuk itu. Membaca judulnya dengan cermat supaya aku tidak kelewatan.

"Eh?" Aku membaca ulang judul surat yang baru saja kubaca. "Ini surat..?"

-

Air shower yang tiba-tiba mendingin menyengatku dari memori enam tahun silam itu. Aku segera menyelesaikan mandiku, berpakaian, lalu merebahkan diri di kasur.

Aku menutup mataku dengan lengan lalu menghela nafas. Aku harus mengalihkan perhatian, tapi bagaimana?

Tugas? Malas membuka buku.

Makan? Malas turun ke dapur.

Sosmed? Dalam masa penghematan kuota.

Tidur? Tidak mengantuk.

Ah, aku punya dia.

Aku meraih handphone-ku, membuka kontak, dan menyentuh ikon telepon.

Tutt

"Halo?"

💨💨💨

siapa yg ditelpon:3
hayu yg bener dpt payung

*up setiap sen, rab, jum

WiFi [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang