4 6 - Train Wreck

444 56 58
                                    

"Aduh, mingdep udah ulangan!"

Aku terkekeh melihat Vera yang tampak stres sendiri namun tetap melangkah ke kantin.

Sudah hari Senin. Bisa kubilang kemarin adalah hari terbaik sepanjang hidupku. Rasanya aku tidak pernah sebahagia itu sebelumnya hingga rasanya aku ingin mengulang terus setiap detik kemarin.

Dan akhirnya aku tidak mati. Haha.

Belum.

"Lo mau makan apa?" tanyaku kepada Vera yang tampak lesu.

"Apa ajalah, ngikut lo."

Aku mengangguk, membiarkan Vera mencari tempat selagi aku memesan makanan.

"Bu, nasi gorengnya dua, ya. Sama es teh dua," kataku disambut anggukan oleh sang Ibu nasi goreng. Aku kemudian duduk di kursi di depan kiosnya yang memang disediakan untuk tempat menunggu.

"Bu, nasi goreng satu."

Aku mendongak dan seketika melebarkan mataku.

Aku lupa saking bahagianya kemarin.

"Hai, Ren," sapanya kikuk.

"H-hai," jawabku sama kikuknya.

Rega kemudian mengambil kursi di sebelahku, membuatku tidak tahu harus berbuat apa.

"Lo, udah mendingan?" tanyaku akhirnya. Dia mengangguk lalu menunduk memandangi sepatunya.

"Gue mau minta maaf, udah nelpon lo tanpa pikir panjang," katanya pelan. "Dan juga makasih, udah jemput gue waktu itu."

"Iya, sama-sama," jawabku sambil memalingkan wajah. Tanpa diminta, semua cerita Rega terngiang di telingaku, membuatku pening seketika.

"Gue gak sadar diri banget, ya?"

Kalimat Rega membuatku langsung menoleh lalu reflek memegang tangannya, berusaha memberikan energi positif karena hawa Rega saat ini rasanya seakan dia bisa melompat jatuh dari gedung kapan saja.

"Semua orang punya masalah masing-masing, Ga. Itu udah siklus alami manusia. Lo jatuh supaya bisa belajar caranya bangkit, kan?

Rega menatapku sebentar, tersenyum kecil, lalu menghela nafas.

"Lo pulang nanti, ada waktu?" tanyanya tiba-tiba. "Gue mau nraktir, sebagai ucapan terima kasih."

"Gausah, gausah. Gue gak mau bikin lo susah," tolakku halus.

"Gapapa, malah guenya yang gak enak kalo gak bales budi lo," katanya menolak tolakanku.

Aku berpikir sejenak. Kalau Rega bertanya begini, artinya kelas IPS tidak ada jam tambahan hari ini. Yang artinya Nathan juga akan mengantarku pulang.

Bagaimana caraku berkata kepada Nathan bahwa aku ada urusan dengan Rega? Jika dia tanya urusan apa, bukannya Rega sendiri yang bilang ini rahasia?

"Emm, ntar gue kabarin lagi," jawabku akhirnya. Rega mengangguk puas lalu berdiri karena pesanan kami sudah siap dan diletakkan dalam nampan yang sama. Akhirnya dia membawakannya ke meja tempat kami semua biasa makan.

Begitu membalikkan badan, aku tertegun dalam hati melihat Nathan yang ternyata sudah menatap ke arah sini. Sepertinya sudah dari tadi.

Berarti dia melihatku mengobrol dengan Rega?

Tapi jika dia bisa memaklumi Peter, seharusnya dia bisa memaklumi Rega, kan?

Entahlah.

Atau aku yang berharap terlalu banyak?

Aku kedapatan lagi duduk di hadapan Nathan. Yang lain berbincang ringan sambil makan, sedangkan aku mati rasa sendiri merasakan seseorang terus menatapku sejak tadi.

Duh, apa dia tidak tahu bahwa gara-gara kejadian kemarin aku semakin tak kuasa melihatnya?

💨💨💨

"Bu Sri! Lo kalo gak mau lihat murid lo ngantuk, cara ngajar lo juga jangan bosenin!"

Aku tertawa geli mendengar keluhan Vera. Dia akhir-akhir ini sering sekali mengantuk, apalagi jika menjelang pelajaran guru "sakti" tersebut. Dan seperti biasa, aku pergi ke kantin untuk membelikannya kopi selagi dia memejamkan matanya sebentar.

Hoho, tenang saja. Aku tidak menjadi kurir gratis karena aku juga ditraktir kopi.

"Mbak, kopi dingin dua, ya."

Aku duduk menunggu di depan kios, tersentak ketika seseorang tiba-tiba duduk di sebelahku.

"Peter?" panggilku terkejut. Dia tampak diam dengan pose duduk tegak sambil menatap lurus ke depan.

"Lo ngap-"

"Gue mau ngomong."

Aku mengernyit mendengar nada suaranya yang serius, berbeda jauh dengan nada suaranya yang biasa.

"Ngomong ap-"

"Gue suka sama lo."

Mulutku terbuka begitu saja. Terkejut dengan kalimat yang barusan diutarakan Peter. Apalagi dia mengatakannya dengan tetap duduk tegak dan pandangan lurus ke depan.

"Lo ngomong sama gue atau sama mbak yang jualan kopi?"

"Sama lo. Renata." Dan kini matanya menatapku. Aku mematung, terperangkap di dalam bola matanya yang hitam pekat seperti tanpa celah itu.

"G-gue, gak tau harus-" ucapanku terhenti karena rasanya pikiranku juga kosong. Peter masih menatapku dalam, seakan menggerogoti paru-paruku sampai aku rasanya kehabisan nafas.

"Gapapa," katanya tiba-tiba lalu menghela nafas. "Gue cuma mau bilang itu. Gue gak suka mendam perasaan lama-lama."

"Sejak, sejak kapan?" tanyaku karena hanya itu yang terlintas di pikiranku.

"Sejak kapan?" ulangnya. "Sejak gue jemput lo pertama kali kayaknya."

Aku langsung teringat kejadian di mana aku terlambat dan Peter menjemputku pertama kalinya.

"Itu kan, udah lama banget?" tanyaku tidak percaya. Peter meringis.

"Ya, dan makin hari makin suka," katanya dengan lancar. "Gausah terlalu dipikirin. Gue cuma pengen lo tau aja. Apa pun jawaban lo, gue terima."

Dia bangkit berdiri, tiba-tiba mengelus kepalaku sebentar, lalu berlalu tanpa memberiku kesempatan menutup mulutku yang sedari tadi ternganga tak percaya sampai mbak penjual kopi harus berteriak untuk menyadarkanku.

Jadi, Peter benar suka padaku?

Aku masih merenung sambil membalikkan badan dan tertegun lagi melihat sepasang mata ternyata sudah mengawasiku dari belakang.

Dan dia berlalu sebelum aku sempat memanggil namanya.

Nathan, dia melihat semuanya tadi?

💨💨💨

train wreck = kecelakaan kereta

kenapa judulnya kecelakaan kereta? disini kan gaada kereta?

nah kereta kan kayak banyak gerbong gitu saling gandeng satu sama lain, jadi kalo satu nabrak semuanya ikut nabrak. semacam efek domino, tau kan?

jadi train wreck itu kayak tabrakan/hantaman yang bertubi-tubi gitu

sama kayak jantung Rena disini
u know la :/

*up setiap sen, rab, jum

WiFi [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang