4 1 - Confused

462 64 29
                                    

double up bcs, why not?

cuma mau ngmng, Rega-nya jgn di judge dulu yah kasian loh:( kalo mau tau knp dia begitu, ya harus stay tune tehee🐳

enjoy!

💨💨💨

Aku pergi ke dapur, mengambil air dingin dan kain bersih, lalu kembali ke ruang tamu, sekadar untuk menyegarkan Rega yang tampak gerah.

Perlahan, aku mulai membasahi sekeliling wajah Rega. Dia tampak menikmatinya karena dia hanya diam. Aku juga diam, masih mencerna setiap kalimatnya tadi.

"Kalo lo beli pulsa aja mikir dulu, kok berani minum-minum?" tanyaku pelan.

"Ngutang," jawabnya akhirnya.

Aku diam, sedikit-sedikit mengerti apa yang Rega rasakan. Menghamili anak orang, tidak beri tahu orang tua, utang menumpuk.

Rasanya aku ingin menangis.

Ternyata ada orang di dekatku yang juga menderita.

Kita semua sebenarnya punya penderitaan masing-masing. Namun kadang kita hanya bisa menampilkan senyum terbaik, menegaskan bahwa kita baik-baik saja.

Betapa kerasnya dunia.

"Lo kok nangis?" Rega menangkapku yang tengah mengucek mata.

"Jadi lo sering bolos karena ini?" tanyaku lagi.

Rega diam, seakan mengiyakan.

"Gue gak tau harus gimana lagi, Ren. Gue-"

"Lo punya temen, Ga!" seruku tertahan. "Lo bisa share ke kita. Seenggaknya, lo gak akan begitu tertekan. Kita juga pasti bantu sebisa kita. Tapi lo gak pernah cerita. Gimana kita-"

"Gak segampang itu, Ren." Rega membalas sambil menatapku, lalu menutup matanya dengan lengannya. "Gue pusing. Bisa tinggalin gue bentar? Makasih banyak buat semuanya."

Aku mengatupkan bibirku. Tidak baik juga menyuruhnya terus bicara saat kepalanya mungkin terasa berat.

"Gue ada di lantai dua kalo lo butuh apa-apa," kataku akhirnya lalu berdiri dan berjalan menaiki tangga.

Handphone di sakuku bergetar lama membuatku langsung mengangkat telepon tanpa melihat nama pemanggil.

"Halo?"

"Kok telepon gue tadi gak diangkat?"

Oh, iya. Nathan. Aku sampai lupa karena semua kejadian barusan. Dia sudah bilang akan meneleponku malam ini padahal.

"Tadi lagi mandi," alibiku karena aku bahkan belum mandi sejak bangun tidur tadi.

"Mandi jam sepuluh?" Aku melirik jam dinding. Sudah malam juga ternyata.

"Tadi siang ketiduran."

Aku membuka pintu kamar, berjalan masuk, lalu menutupnya kembali.

"Lo marah sama gue?" tanya Nathan tiba-tiba bersamaan aku merebahkan diri di kasur.

"Nggak, kok?"

"Nada lo," ucap Nathan. "Beda."

Aku menghela nafas kecil. Pikiranku sedang dipenuhi lelaki lain saat kekasihku sendiri sedang meneleponku.

"Gue cuma agak pusing." Fakta, kan?

"Gue ini pacar lo sekarang, jadi gue berhak tanya. Pusing kenapa?"

Iya, pacar di mata gue doang, batinku tiba-tiba menyulut emosi membuatku mendesah kasar tanpa sadar.

"Ada masalah ap-"

"Pusing biasa, kok. Gue tidur dulu, ya?" ucapku tak mau bangun berlama-lama.

Semakin lama aku terjaga, semakin banyak pikiran yang menimpa.

Nathan diam sejenak sebelum akhirnya mengiyakan dan aku segera menutup telepon.

Mandi? Tidak usahlah. Tidur saja.

💨💨💨

Karena terlalu banyak tidur, aku bangun saat subuh dan tubuhku pegal semua karena terlalu lama rebah.

Masih pukul empat pagi, di luar juga masih gelap, jadi aku memutuskan untuk membasuh muka dan makan apa yang ada.

Keluar dari kamar, aku teringat Rega. Kakiku segera menuju ke ruang tamu, tempat aku membaringkan dia tadi malam.

Hilang.

"Rega?" panggilku. Siapa tahu dia main petak umpet atau apa.

Aku mengelilingi ruang tamu berkali-kali, bahkan mengintip ke kolong sofa. Tidak ada. Kain yang semalam menempel di keningnya dilipat rapi di ujung sofa.

Dengan rasa penasaran, aku beranjak ke dapur. Juga tidak ada tanda-tanda manusia selain aku dan sepiring mie instan di atas meja yang sudah agak dingin.

Rega yang membuat?

Di samping piring ada sebuah sticky note yang diambil dari pintu kulkas. Ibu memang biasa menempeli itu untuk mengingatkannya akan bahan makanan.

Ada tulisan.

Makasih buat semuanya.
Masih bisa jaga rahasia, kan?
-R

Aku menghela nafas. Sebenarnya aku tidak mau terlibat semua ini, tapi mau bagaimana lagi? Sudah terlanjur basah, berenang saja sekalian.

Sambil memakan mie yang mulai dingin, aku memikirkan apa yang harus aku lakukan. Tentang masalah Rega. Karena jujur, sepertinya aku tidak bisa melakukan apapun.

Toh, itu juga termasuk kesalahannya. Harusnya dia mau bertanggung jawab, kan?

"Hayo, Rena. Main hakim sendiri," gumamku menegur diriku sendiri.

Aku tetap harus tanya tentang ceritanya saat Rega sadar seratus persen. Bisa saja alkohol membuatnya mengigau atau bagaimana.

"Oke, jadi gini." Aku meluruskan tanganku seusai menelan lahapan terakhir. "Rega mabuk dan dia tidur sama Fanya. Terus Fanya hamil dan dia minta tanggung jawab Rega. Begitu kan, intinya?"

Aku mencoba mengingat-ingat lagi, tapi setahuku memang hanya begitu inti ceritanya.

"Pertanyaannya, gimana Rega bisa mabuk? Dan separah apa sampai bisa ngelakuin hal itu? Dan kenapa bisa sama Fanya?"

Pertanyaan yang kuajukan kepada diriku sendiri membuatku menggeram karena malah semakin bingung.

"Gimana ini?" Aku menggigit jariku sendiri. "Gue gak tau harus bantu apa. Paling cuma bisa support doang kan, sama bantu doa?"

Aku menghela nafas.

Aku harus mengalihkan pikiran sebentar.

💨💨💨

fun fact - karena aku butuh logika org lain, aku tanya salah satu temen cowoku.

syavi : heh kalo kamu ngehamilin orang, kamu bakal gimana?

cuma biar bisa kuterapin ke Rega, yakan? siapa tau dia bisa ngasi ide lain atau gmn. dan jawabannya-

temen : emang kenapa? kamu ngehamilin siapa syav?!

dan akhirnya aku bukan dapet jawaban, tapi dapet ceramah.

sekian.

*up setiap sen, rab, jum

WiFi [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang