6 2 - Disagree

456 50 9
                                    

"Liburan ini jangan matiin data terus!"

Aku terkekeh mendengar pesan Vera. Yep, kami sudah bebas dari semua tes. Saatnya liburan, walau hanya sekitar dua minggu.

Tak apa, libur tetaplah libur.

"Mau kan, gue ajak jalan-jalan?"

"Kalau sudah dipaksa, hamba bisa apa?" Aku terkekeh sendiri mendengar kalimatku yang seakan mengatakan "gue-mau-banget", sedangkan Vera hanya mendengus geli melihat tabiatku.

"Ke kantin dulu, yuk! Pada ngumpul di sana dulu katanya."

Aku mengangguk, sekalian mengucapkan perpisahan sejenak karena kami akan jarang bertemu selama dua minggu.

"Di sini!"

Aku dan Vera langsung melihat Tora yang melambaikan tangannya tinggi-tinggi. Kantin juga cukup ramai, mungkin juga banyak anak yang ingin menghabiskan waktu mereka dengan teman-temannya.

Peter dan Rega tampak bertanding dari handphone masing-masing, pasti mereka rindu main play station bersama. Ivan tampak ikut mengamati handphone Rega sambil menyoraki mereka. Tora sendiri sudah merangkul Vera erat-erat.

Tunggu. Nathan mana?

"Nathan mana?" tanya Vera seakan mewakiliku. Tora mengangkat bahunya.

"Tadi abis tes selesai, dia langsung pergi bentar. Katanya ntar balik ke sini lagi."

Aku ber-oh ria dalam hati, karena sejujurnya aku antara ingin dan tidak ingin melihatnya.

Tidak ingin karena aku tidak sanggup untuk berdiri di hadapannya, ingin karena untuk bekal kangen selama liburan. Hehe.

Ya, sudahlah. Mungkin aku memang tidak ditakdirkan untuk melihatnya lagi.

Apa, sih? Emang lo mau mati?

"Gue pulang duluan, ya?" Aku bangkit berdiri setelah tidak ada lima menit duduk. Vera langsung memasang ekspresi kecewa.

"Loh, lo mau ke mana buru-buru?"

"Ada-lah, urusan," jawabku ringan. "Lagian ntar kan, kita juga pasti main waktu liburan."

"Yaudah, deh. Tapi lo beneran jangan off mulu! Awas aja!"

Aku mengangguk geli, memberi salam perpisahan kepada mereka semua, lalu berjalan ke halte.

Vera tidak tahu jika aku hendak pergi ke makam ibu kandungku. Dia juga tidak tahu bahwa aku anak angkat. Tentang bahasa yang kaku, dia hanya berpikir itu sebuah budaya dari keluargaku yang turun temurun.

Bahkan sahabat terdekatku sekalipun tidak tahu, bagaimana aku bisa memberi tahu orang lain?

Petir menyambar tiba-tiba, membuatku tersadar bahwa langit ternyata sudah mendung. Bus datang, dan aku tetap nekat mengunjungi Bunda.

Rintik mulai terasa saat aku menapakkan kakiku di tanah. Aku berjalan seakan tanpa nyawa lalu duduk di samping nisan Bunda.

"Maaf Ata lupa bawa hortensia," ucapku pelan. "Ata pengen cepet-cepet ke sini soalnya."

Jemariku memainkan kelopak biru yang kubawa terakhir aku kemari.

"Ata udah selesai tes loh, Bun. Kali ini Ata yakin hasilnya bagus, soalnya tiap malem Ata sibuk belajar."

Tak ada jawaban. Aku menunduk, merasakan air hujan yang semakin ramai menghantam bumi dan juga tubuhku.

"Padahal Ata percaya, lingkungan yang bahagia bisa bikin Ata bahagia juga." Aku tersenyum sedih. "Tapi kok Ata tetep nggak merasa bahagia, ya? Bahkan setelah memastikan temen-temen Ata semuanya bahagia, Ata tetep nggak terpengaruh."

Dadaku sesak sekali rasanya. Beban yang selama ini kutahan seperti memaksa ingin keluar.

"Apa karena memang itu sebenernya kebahagiaan orang lain? Ata cuma numpang senyum, jadi bahagianya nggak kerasa."

Ya, pasti karena itu.

Aku berusaha ikut bahagia karena orang lain bahagia, tetapi sesungguhnya kebahagiaan itu memang bukan milikku. Aku hanya ikut tersenyum senang, namun dalam hati tidak begitu merasakan maknanya.

Semakin sering aku tersenyum, semakin keras batin jahatku tertawa.

"Ngapain lo senyum? Lo gak punya alasan untuk tersenyum sekarang. Gak usah sok bahagia."

Aku menenggelamkan kepalaku sambil memeluk kedua lututku, merasakan tangisan langit yang semakin deras seakan membarengi tangisanku.

Ayo menangis bersama.

Tak ada salahnya menangis bersama hujan, karena kadang kamu hanya ingin merasa dimengerti.

Langit tampak bersimpati, ikut berduka seraya menjatuhkan airnya. Awan mendung semakin gelap, turut bersedih melihatmu terluka.

Aku masih diam, merasakan dinginnya hujan. Serbuan airnya seakan juga menyerbu jantungku, mendesaknya untuk meledak.

"Kenapa?" lirihku. "Kenapa gue berusaha menyelesaikan masalah orang lain padahal masalah gue sendiri belom selesai?"

Aku bodoh sekali.

Aku tersenyum sambil mengatakan semuanya akan baik-baik saja saat hatiku sendiri tidak bisa mempercayainya karena aku lagi-lagi menyakiti orang yang sama.

Aku tertawa berusaha menghibur orang lain saat diriku sendiri sama sekali tidak merasa bahagia karena aku terus-terusan mengecewakan orang yang sama.

Aku menyarankan untuk menghadapi kenyataan saat kakiku sendiri terus berlari karena aku senantiasa menghindari orang yang sama.

Sampai kapan aku mau begini?

Sampai kapan aku mau berlari?

Sampai kapan aku akan membohongi diriku sendiri?

Hujan tiba-tiba berhenti. Aku mengangkat kepalaku perlahan, menatap sekeliling. Apa aku terlalu tenggelam dalam penyesalanku sampai tidak sadar bahwa langit sudah reda?

Tidak, hujan masih terdengar. Aku mendongak, menatap sebuah payung yang bertengger di atasku, melindungiku dari serangan air hujan.

Mendongak lagi, mataku berusaha menangkap sosok yang memegangi payung di antara air mataku.

"Ngapain hujan-hujanan?"

Tidak, ini pasti halusinasi. Ini karena aku terlalu merindukannya. Iya, pasti.

"Kayak di novel aja. Untung gue bawa payung."

Tapi suaranya terdengar begitu nyata.

Nathan berjongkok di sebelahku, menyetarakan tinggi tubuh kami. Matanya memandangiku yang tampak kacau.

"Ayo, pulang."

"Ngapain lo di sini?" tanyaku masih terkejut dengan keberadaannya.

Tunggu, bagaimana dia bisa ada di sini? Atau lebih tepatnya, bagaimana dia bisa tahu aku ada di sini? Masa Nathan mengikut-

"Nemenin pacar."

Aku terbelalak mendengar jawabannya dengan nada yang kelewat tenang di tengah hujan yang begitu rusuh.

Apa maksudnya sebenarnya?!

"Gu-gue bukan pacar lo! Kita kan, udah putus!" bantahku masih tidak mengerti dengan situasi saat ini.

"Masa?" Nathan tampak tersenyum kalem. "Lo bilang hubungan harus disetujui kedua pihak waktu lo abis nembak gue. Berarti gue juga harus setuju dong, waktu lo mutusin gue?"

Aku langsung teringat kalimatku sendiri pada kencan pertama kami. Benar, aku memang berkata seperti it-

"Gue gak setuju, tuh? Lo mau apa?"

💨💨💨

yah aku gamau mbacot disini
silakan komen sepuas kalian haha

*up setiap sen, rab, jum

WiFi [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang