1 2 - Figure

637 105 28
                                    

"Waah, makasih Rena!"

Peter berseru girang melihat semangkuk bakso yang kubelikan untuknya. Hitung-hitung balas budi karena dia sudah mengorbankan tenaganya, waktunya, bensinnya, resiko kena tilangnya, dan keselamatan nyawanya.

"Gue juga makasih. Lo sampe ngebut se-"

"Es tehnya mana?"

Vera terbahak-bahak mendengar Peter menyela dengan santainya. Aku mendengus, namun tetap beranjak lagi untuk memesan es teh. Tidak elok juga mentraktir makan tanpa minum.

Nanti dia tersedak bakso, tenggorokannya terhimpit, oksigennya tertahan, lalu meregang nyawa, bagaimana?

"Bu, es tehnya satu, ya."

Aku duduk di depan kios bakso yang cukup jauh dari meja tempat teman-temanku berada sembari menunggu minuman untuk Peter.

"Kok gak gabung sama yang lain?"

Aku menoleh, terkejut melihat Rega tiba-tiba ada di sampingku.

"Lagi mesen minum," jawabku. Rega mengangguk-angguk, memesan semangkuk bakso dan minuman, lalu duduk di sampingku.

Melihat Rega, membuatku jadi teringat mimpiku semalam. Aku menggigit bibir dalamku, berusaha tidak tersenyum aneh.

Mimpi sialan yang membuatku kesiangan.

"Lo kok baru ke kantin?" tanyaku mengalihkan perhatianku. Rega menatapku sebentar.

"Gue abis ketemu orang," katanya.

Nama "Fanya" langsung terlintas di pikiranku. Mungkinkah?

"Siapa?" tanyaku berusaha terdengar basa-basi padahal penasaran setengah mati.

"Kepo, yang penting bukan setan." Rega menepuk ubun-ubunku pelan sambil terkekeh geli lalu bangkit karena pesanannya sudah siap.

Jika ini kartun, kurasa telingaku sudah mengeluarkan asap saking panasnya. Tanpa pantulan cermin pun aku bisa melihat pipiku mulai memerah.

Tidak, tidak. Tenang. Ini hanya efek empat tahun tanpa belaian.

Aku berusaha meredakan debaran jantungku, berharap dengan begitu rona pipiku juga memudar.

"Ren? Kok diem?"

Aku mendongak melihat Rega membawa satu mangkuk dan dua gelas es teh sekaligus. Satunya pasti es teh pesananku.

"Eh, gak usah. Gue bawa sendiri aja." Aku langsung bangkit hendak meraih es tehku.

"Udah, gak usah. Gue bisa ini."

"Tapi-"

"Ayo, keburu bel masuk bunyi."

Akhirnya, aku mengikuti Rega dari belakang. Kulihat dari kejauhan Vera menyadari keberadaan kami, dan dia langsung melempar senyum miring membuatku mendengus.

"Mayak banget lo, Ga. Es teh dua gelas gitu," komentar Tora langsung begitu melihat Rega datang bergabung.

"Satunya punya Rena," jawab Rega sambil meletakkan bawaannya.

"Punya Rena berarti punya gue."

Peter menyambar satu gelas es teh, membuat Rega ternganga.

Aku pun menceritakan kejadian tadi pagi sembari makan. Yang lain juga mendengarkan dengan mulut mengunyah makanan masing-masing. Hatiku rasanya menghangat. Biasanya aku bercerita hanya dengan Vera saja. Sekarang ketika lebih dari satu manusia mendengarkanku dengan seksama membuatku tiba-tiba senang.

"Oh, gitu," respon Rega langsung. "Lah, tau gitu gue tinggal aja di sana biar ni anak ngambil sendiri. Sini ongkir bawain es tehnya."

Peter terbahak hingga tersedak. Tentu saja rasanya geli ketika orang yang biasa memalak sekarang malah dipalak.

"Padahal gue mau ngasi contoh lelaki sejati ke Rena, eh malah lo ngasi contoh lelaki banci minta ditraktir."

"Emang dianya yang mau nraktir, sempak! Kenapa jadi gue yang disalahin?!"

Makian Peter membuat seisi meja tertawa. Bibirku juga tertawa, namun benakku terus memutar ulang kalimat Rega barusan.

"..ngasi contoh lelaki sejati ke Rena.. lelaki sejati ke Rena.. ke Rena.."

AH, CUKUP! Semudah inikah orang jatuh cinta? Hanya dengan satu kalimat sederhana namun penuh makna?

💨💨💨

Sepanjang pelajaran aku tidak bisa fokus. Benakku asyik memutar ulang semua kejadian tadi seperti kaset rusak.

"Lo kenapa, Ren? Pusing?" tanya Vera khawatir melihatku membenamkan kepala. Dia tampaknya tidak sadar bahwa kalimat sepele dari Rega tadi menusuk ke relung hatiku yang terdalam. Atau memang akunya yang berlebihan?

"Gapapa, cuma ngantuk aja," jawabku beralasan. Vera ber-oh ria lalu kembali menatap ke papan tulis.

Aku juga ikut menatap papan tulis, tapi pikiranku terbang ke mana-mana. Mimpi semalam yang begitu membekas terlintas lagi.

Mataku terbelalak. Apa jangan-jangan, itu pertanda-

Bel istirahat ke dua berbunyi. Vera langsung bangkit sambil menarikku.

"Ayo, kita beli kopi! Lo harus melek, Ren. Pelajaran terakhir kimia. Bisa diamuk abis-abisan kalo kita keliatan gak niat!"

Aku mengikuti langkah Vera karena memang usulannya benar. Bu Sri, guru kimia, memang dikenal mempunyai mata batin. Entah bagaimana dia bisa tahu jika kita merasa malas atau mengantuk walaupun kita sudah menutupinya mati-matian. Dan jika sudah ketahuan, pasti dia akan menceramahi tentang masa depan.

Pelajaran kimia bertransformasi menjadi sosialiasi kehidupan.

"Loh, tumben mereka ke kantin waktu istirahat ke dua?"

Gumaman Vera membuatku menoleh. Ya, ada Tora, Ivan, Peter, dan Rega tengah duduk di meja yang biasanya kita semua tempati. Memang biasanya jika istirahat ke dua mereka lebih memilih di kelas atau di lapangan untuk bermain dan-

Eh, tunggu. Ada yang kurang.

"Nathan," kataku tanpa sadar. "Nathan mana?"

"Lah, baru sadar Nathan nggak ada?" tanya Vera heran lalu memesan kopi dingin. "Nathan kan, tukang bolos. Hari ini bolos, besok masuk, besoknya bolos lagi."

"Ooh," kataku teringat. "Bisa gitu, ya."

"Dia udah yakin banget masa depannya bakal sempurna," kikik Vera membuatku ikut tertawa.

Setelah mendapatkan kopi, kami memutuskan untuk bergabung dengan yang lain.

"Hai!" sapa Vera riang seperti biasa lalu duduk di samping Tora, sedangkan aku mengambil duduk di sebelah Peter yang tampak menidurkan kepalanya di atas meja. "Kok tumben istirahat ke dua di sini?"

"Ngantuk, beb," jawab Tora lalu mengikuti pose Peter. Aku baru sadar jika ada empat gelas kopi lainnya juga.

"Iya, hawanya suntuk banget. Apa lagi abis ini ulangan, kudu melek!" keluh Ivan lalu meminum kopinya. Vera mulai mengadu nasib tentang kesaktian Bu Sri, membuatku hanya terkekeh mendengarkannya.

Aku menoleh ke arah Rega yang duduk tepat di depanku. Dia menopang dagunya dengan wajah menghadap ke depan sambil memejamkan mata, sepertinya benar-benar pada mengantuk semua.

Diam-diam, aku mengamati wajah Rega. Heduh, coba semalam tidak mimpi seperti itu. Pasti aku tidak akan se-salah tingkah ini.

Pandanganku teralih ke belakang tubuh Rega. Sekitar delapan meter dari sini, ada sesosok yang tampak menatap ke arah sini.

Aku tersentak.

"Ren? Kenapa?"

Aku mengganti pandanganku ke arah Rega. Dia sudah membuka matanya entah sejak kapan walau masih dengan pose yang sama.

"Itu-"

💨💨💨

itu siapa?👀

*up setiap sen, rab, jum

WiFi [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang