3 6 - Keep Going

487 79 38
                                    

"Dulu Athaya bersahabat dengan Paman dan Ayahmu waktu kita SMA," cerita Paman saat kami berjalan di antara nisan. Aku memeluk diriku sendiri, masih tidak percaya bahwa alasan utama aku masih bertahan hidup sekarang ini sudah tiada sejak dulu.

"Tapi waktu kuliah, Paman mengambil universitas yang berbeda dari mereka. Alhasil sejak saat itu, Paman jarang dengar kabar tentang Athaya. Lulus kuliah, kami langsung kerja. Kamu tahu sendiri kan, Paman kerjanya bolak-balik ke luar kota. Semakin renggang dengan Ayahmu dan Athaya." Aku melirik ekspresi Paman. Dia tampak benar-benar tenggelam di ingatannya.

"Tiba-tiba, Paman dengar dia meninggal beberapa hari setelah melahirkan."

Deg.

"Paman pun juga tidak tahu apa-apa soal kehamilannya. Ayahmu juga waktu itu sangat sedih sampai Paman tidak berani bertanya sampai sekarang. Lalu- Eh, Ata?! Kamu menangis?"

Aku mengusap air mataku cepat, tapi yang lain juga ikut bertetesan.

"Pasti sedih ya, ceritanya? Kamu masih kecil tapi bisa menghayati cerita sampai seperti ini." Paman terkekeh tanpa curiga sambil mengusap matanya juga. Dia juga tampak sangat sedih rupanya.

"Sejak saat itu, Ayahmu tidak mau lagi membahas tentang Athaya. Mungkin Paman juga akan begitu jika di posisi Ayahmu, yang merupakan sahabat terdekatnya. Tentu sakit rasanya jika terus ditanyai orang tentang dia." Paman menghela nafas. "Lalu kami melanjutkan hidup. Paman terus bekerja dan Ayahmu menikah dengan Ibumu. Lama tak berkabar, tiba-tiba Paman sudah punya keponakan."

Telapak tangan Paman mengelus kepalaku. Aku tersenyum kecil, sedikit merasa ditenangkan sebelum Paman kembali bicara.

"Yang masih mengganjal di hati Paman adalah bayinya. Bayi dari Athaya pun sampai sekarang tidak ada yang tahu ada di mana."

Aku! Bayi itu AKU!

Jadi, Bunda pergi beberapa hari setelah melahirkan aku? Mengapa? Apa memang kelahiranku adalah penyebab kematiannya?

Kalau begitu, lebih baik aku tidak lahir. Toh, aku hidup sekarang juga tidak bahagia? Buat apa aku dilahirkan?

"Nah, ini Athaya."

Aku mengucek mataku yang buram lalu melihat Paman tengah mengelus satu buah nisan.

Bunda, ada di sini?

Aku menggigit lidahku kuat-kuat, berharap isakanku tidak keluar. Jadi, memang dari awal aku sudah sendirian. Mungkin Ayah Ibu mengangkatku menjadi anak mereka karena Bunda adalah sahabat Ayah.

Semuanya masuk akal.

Namun logikaku tidak mau menerimanya.

Ini bukan salah Paman yang menceritakan semuanya. Ini bukan salah Ayah yang mengangkatku menjadi anaknya. Ini bukan salah Ibu yang selalu bersikap kaku terhadapku. Ini bukan salah Bunda yang pergi selepas melahirkanku.

Ini salahku.

Kenapa Tuhan harus menciptakan aku?

Lahirnya aku membawa begitu banyak kesedihan. Ayah yang ditinggalkan sahabat terdekatnya, Paman yang tidak tahu apa-apa tiba-tiba kehilangan, Bunda yang harus merelakan hidupnya untuk hidupku.

Aku tidak berguna.

Aku tidak berharga.

"Rena, di sini dulu, ya? Paman mau beli bunga sebentar untuk mempercantik Athaya."

Aku mengangguk dan Paman pun berlalu. Jemari kecilku mengelus nisan Bunda seakan aku sedang mengelus wajahnya.

"Bunda, maafin Ata." Aku sesenggukan sendiri di hadapan Bunda. Tidak tahu harus marah dan melampiaskannya kepada siapa.

WiFi [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang