2 6 - Goodlooking

538 87 26
                                    

"Halo?"

"Ver,"

"Hai! Kenapa lo? Tumben nelpon dulu-"

"Ver, ngobrol. Cepetan."

Vera tertawa begitu mendengar perintahku yang aneh itu. Tapi tidak bisa kusangkal bahwa setiap topik yang diangkat Vera selalu bisa kunikmati.

"Lo tau gue ahlinya," jawabnya. "AYO BAHAS DOUBLE DATE, HEHE."

Yah, tak apalah. Menumpuk satu pikiran dengan pikiran yang lain tidak terdengar terlalu buruk.

"Entah kenapa, gue sekarang malah suka liat lo sama Peter."

"Oh," jawabku singkat lalu seketika tersadar dan terbelalak. "Eh, PETER?!"

"Iya!" jawabnya langsung lalu berteriak gemas. "Kayak lucu aja gitu. Kayak abang sama adeknya yang berantem mulu."

"Nah, emang iya. Dia udah kayak abang gue sendiri," kataku mengungkapkan fakta.

Sejak kejadian Peter menjemputku dua kali, melewati razia, dipinjami jaket dan komik, aku baru sadar bahwa Peter benar-benar sosok kakak yang perhatian di balik wajahnya yang garang.

"Mampus, bakal kakak-adek zone."

"Hilih," cibirku. "Toh, gak mungkin Peter suka sama gue. Paling dia juga anggep gue adeknya karena ngerepotin dia mulu."

Vera tertawa geli di seberang membuatku juga ikut tertawa melepaskan beban.

Setelah tawa kami mereda, keadaan hening. Ingatanku yang tadi seakan mulai terlintas lagi, membuatku berdecak.

"VERA! JANGAN BERENTI NGOBROL!"

Vera terbahak-bahak lagi mendengarku yang tampak panik sendiri.

"Kenapa sih, lo? Kayak mau mati aja kalo nggak ngobrol."

"Emang."

Dan tawanya terdengar lagi. Aku pernah membaca kalau kita mendengar tawa seseorang otomatis kita akan ikut terbawa juga. Makanya aku memilih menelepon Vera karena dia yang selalu banyak bicara dan banyak tertawa.

Pengalih yang tepat.

"Gimana tadi pulangnya?" Aku melebarkan mataku, teringat betapa jahatnya dia meninggalkanku begitu saja.

"Lo, ya! Jahat banget ninggalin gue pulang duluan. Padahal gue mau minta tolong pesenin ojek, huhu."

"Maaf bingitz, sayang! Gue disuruh harus ada di rumah setengah tujuh, katanya ada acara. Tapi ternyata nggak jadi, kesel banget," keluhnya. "Lagian Nathan kan, udah bilang mau nganterin lo."

"Nathan bilang gitu sama lo?" tanyaku kaget.

"Iya, soalnya dia liat gue buru-buru mau pulang. Jadi dia suruh gue duluan aja daripada kelamaan nungguin lo."

Jadi udah direncanain, toh.

"Tapi lo tadi beneran pulang sama dia, kan? Jangan bilang nggak. Gue santet dia ntar!"

"Iya, jadi." Aku menjawab sambil terkekeh.

"Yess, cepet jadianlah! Cepet double date."

Aku hanya tertawa melihat semangat Vera yang tak kunjung surut sejak hari pertama dia membujukku.

"Tapi gue rada khawatir sama mantannya itu," ucap Vera tiba-tiba. "Inget, kan? Waktu kita sampe dramatis banget di toilet?"

"Nggak balikan, kok. Nathan pernah cerita.."

Aku kemudian menceritakan saat Nathan datang ke rumahku membawa martabak sambil meluruskan bahwa Sheryl sebenarnya tidak mengejar-ngejar dia. Aku bisa membayangkan Vera tengah ternganga.

"JADI NATHAN UDAH PERNAH APEL KE RUMAH LO SAMBIL BAWA MARTABAK?! KOK BARU CERITA SEKARANG?!"

Aku berdecak mendengar responnya yang malah salah fokus.

"Waktu itu malemnya gue sibuk. Terus paginya gue telat, hampir kena razia pula. Jadi kelupaan," jelasku. Vera ber-oh ria.

"Tapi mereka udah pernah bercandaan 'rasa yang tertinggal', loh. Kalo Nathan-nya cuma main-main, takutnya si Sheryl yang kebaperan terus beneran ngejar Nathan lagi. Apalagi mantan sejenis Sheryl ini kalo dikasih tanda-tanda mau balikan, pasti dia ikut gerak. Gimana? GIMANA?!"

"Lo bukannya dukung gue malah ngasih segala peluang negatif, temen laknat."

Vera tertawa mendengarku mengatainya.

"Tapi, kalo misal. Ini misal, ya," katanya kemudian. "Kalo Nathan balikan sama Sheryl, gimana?"

Aku mengangkat bahuku acuh, masih ingat bahwa aku sudah memutuskan bahagia tidak melulu soal pacaran.

"Sakit, sih. Tapi yaudalah, biarin aja. Mungkin yang dulu cuma kesalahpahaman. Lagian mereka kelihatannya cocok."

"Ih, bukan itu respon yang gue harapin!" seru Vera kecewa, membuatku tertawa. "Lo harusnya mewek dong, Ren!"

Aku masih tertawa keras. "Buat apa? Gue masih bisa seneng-seneng sama dia meski gak pacaran."

"Ya, beda cerita kalo dia udah punya pacar, dong! Lo kok nggak peka banget, sih?"

Aku tertawa lagi. Iya juga, ya?

"Relain aja, sih. Toh, gue juga belum suka-suka banget."

"LOH, berarti udah suka?" tanya Vera excited. Aku mendengus, sepertinya Vera memang menungguku mengakuinya langsung.

"Iya, jujur aja. Suka yang sekadar suka aja. Nathan kan, emang tipe yang gampang ditaksir. Gue jamin 95,8% cewek yang lihat dia pertama kali bisa langsung suka, walaupun kadar sukanya pada beda. Ada yang suka biasa, ada yang langsung terobsesi," jelasku dengan nada keren.

"Kalo gitu, gue mau ngaku. Gue juga suka, tapi iman meneguhkan gue untuk tetap memandang Tora."

Pengakuan Vera membuatku terbahak. Ternyata, oh, ternyata!

"Gue kira lo setia loh, Ver."

"LOH? KAN EMANG!" serunya tak setuju. "Gini ya, Ren. Perasaan itu nggak bisa kita kontrol. Yang bisa kita kontrol itu tindakan kita, mau melawan perasaan itu dan setia dengan yang sudah ada atau membiarkan perasaan itu tumbuh dan berakhir menghancurkan kita.

"Gue emang pada awalnya suka sama dia, tapi karena gue setia gue milih melawan perasaan itu. Jadi, setia itu bukan tentang 'aku hanya suka kamu' tapi tentang 'aku hanya pilih kamu'. Begitu. Sekian."

Aku bertepuk tangan di depan speaker dengan heboh sambil menyorakinya, ingin memberi tahu Vera bahwa aku sangat bangga terhadap kalimatnya yang sungguh indah itu.

Satu lagi temanku yang seharusnya mengambil jurusan bahasa.

"Tapi maklum, kok. Emang Nathan-nya good looking. Jadi first impress-nya langsung melejit."

"Lo mulai pinter masalah beginian, ya? Gue bangga." Vera berakting tersedu-sedu di seberang membuatku tertawa lagi.

-

Waktu yang sama, kediaman Melati 8/42...

"Uhuk! Uhuk! Keselek angin apa, sih? UHUK!"

💨💨💨

hayo siapa yg kemarin nebaknya Nathan ngaku :3
gajadi dpt payung deh awkw

*up setiap sen, rab, jum

WiFi [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang