5 8 - Possibility

438 49 30
                                    

"Makasih tumpangannya."

Tora dan Vera mengangguk seraya aku keluar dari mobil Tora. Mereka menawarkan tumpangan untuk mengantarku ke toko buku sebelum mereka pergi entah ke mana.

"Dah!" Vera menepuk pipiku seperti biasa lalu melambai seiring mobil mulai melaju lagi. Aku melambaikan tanganku lalu masuk ke dalam.

Oke, saatnya fokus.

Toko buku yang termasuk besar ini cukup ramai saat aku masuk. Banyak juga anak-anak dengan seragam sekolah mereka masing-masing di sana, berkumpul dengan gerombolannya sendiri, membuatku yang berjalan sendirian di antara mereka tampak sangat kontras.

Aku cepat-cepat menyelesaikan urusanku, tidak mau merasakan kesendirian di tengah keramaian ini lebih lama lagi.

"Hmm, biologi," gumamku dengan jemari yang terus memilah barisan buku di hadapanku.

Sebenarnya aku lebih ingin membeli novel, mumpung ada uang untuk membeli buku. Tapi-

Tahan, Rena. Tahan.

Aku menghela nafas, terus meneguhkan imanku.

Setelah beberapa menit menimbang-nimbang, akhirnya aku membawa satu buku yang kurasa paling bisa membantu, lalu langsung berjalan ke kasir karena tidak ingin berlama-lama di sana.

Ralat, karena tidak ingin berlama-lama hingga buku pelajaran yang tengah kugenggam ini berganti dengan novel romansa. Haha.

"Ini saja, kak?" tanya sang penjaga kasir.

Ya, gue pengennya lebih. Tapi gak ada duit. Gimana? Lo mau beliin?

"Iya, itu saja," jawabku sebelum sang batin mengambil alih. Dia menyebutkan sejumlah harga, aku membayar dan berterima kasih, lalu bersiap untuk pulang sambil memasukkan buku itu ke tasku sebelum suara yang familiar tiba-tiba memasuki gendang telingaku.

Siapa?

Aku berbalik, masuk kembali ke dalam toko tanpa bisa ditahan karena benar-benar penasaran siapa. Suaranya cukup asing, namun aku yakin aku pernah mendengarnya dari dekat.

"Hahah! Lo beli yang itu, boleh juga!"

Suara ini-

Aku terbelalak, menyadari aku sudah berdiri sangat dekat dengan pemilik suara. Aku yakin dia berada dekat di belakangku.

Tanganku langsung meraih satu buku secara acak, membukanya, dan berpura-pura membacanya sambil melirik diam-diam.

Ya, benar.

Itu Sheryl.

Dia tampak bercanda dengan orang di sebelahnya sambil menunjuk satu buku bersampul merah muda. Dan orang itu-

Nathan.

Aku semakin menundukkan kepalaku ke arah buku penyamaran tadi, merasa kesal sekaligus sedih.

Kesal karena ternyata selama ini hanya aku yang kepikiran tentangnya. Aku yang hampir setiap waktu menyesali setiap perbuatan dan perkataanku hari itu, kebingungan bagaimana caraku meminta maaf dan memperbaiki setiap kesalahanku.

Sedih karena melihat betapa cepatnya dia berpaling begitu kami selesai.

"Berarti kalo gue bahagia sama Sheryl, gak ada alasan buat gue untuk gak balikan?"

Ya, dia pernah berkata begitu hari di mana aku menembaknya. Seharusnya aku tahu lebih awal. Tentu saja Sheryl jauh lebih valuable daripada aku.

Lalu mengapa dia menerimaku?

Dia juga belum pernah bilang alasan dia menerimaku, kan? Iya, dan itu-

"Renata?"

Aku menoleh terkejut, melihat Sheryl sudah berada di sebelahku dengan tangan yang setengah terulur, sepertinya hampir hendak menyentuh bahuku.

WiFi [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang