3 5 - Gone

499 89 41
                                    

"Paman,"

"Ya?"

"Paman kenal Athaya Dewi Pricilla?"

"..."

"Di mana?"

"...dia di sini..."

"RENA!"

Aku membuka mataku seketika. Vera tampak memegangi bahuku dengan ekspresi cemas.

"Akhirnya bangun. Gue kira lo mati, tau gak?!"

Aku tersenyum geli lalu mengucek mataku. Kenapa aku bisa tertidur di kelas?

"Jamkosnya udah selesai. Udah bel pulang barusan," jelas Vera membuatku memahami keadaan yang terjadi. Aku mengangguk lalu tertegun merasakan keringat dingin di pelipisku.

Pasti berkaitan dengan mimpi tadi. Mengapa akhir-akhir ini aku selalu memimpikan itu?

Pertanda aku harus pergi ke "markas".

"Lo sakit? Wajah lo agak pucet." Vera memeriksa dahiku. "Agak anget."

Aku mengecek keningku sendiri lalu melambaikan tangan ringan.

"Efek bangun tidur. Ntar juga ilang."

"Mau gue anterin pulang aja?"

"Ngerepotin. Pesenin online aja, ya?"

"Apa sih yang nggak buat lo?" Vera tersenyum sambil mencubit pipiku.

"Gue bisa belok kalo lo gini terus." Tawa Vera terdengar selepas mendengar kalimatku.

Seusai mengetahui nama driver dan plat motornya, aku mengucapkan terima kasih dan Vera pun langsung pulang karena ada les. Aku membuka handphone-ku, melihat pesan yang belum kubaca.

nath : nata
nath : gw ada kls tambahan
nath : lo pulang naik apa?

Aku mengetik balasan sambil tetap berjalan ke gerbang depan.

rena : gw dipesenin sm vera
rena : btw, "nata"?
nath : bagus kan?
nath : panggilan syg itu :p

Aku tersenyum geli sendiri lalu mendongak ketika namaku dipanggil.

"Kak Rena?" Seorang bapak dengan jaket hijau tampak mencari-cari.

"Saya, pak," jawabku mendekat. Dia menyerahkan helm dan aku naik ke belakangnya sebelum motor melaju. Aku menunduk, kembali mengetik di layar.

rena : idih
rena : udh sana katanya kls
rena : ni gw udh otw pulang
nath : tiati syg
nath : gw kls dulu ya

Aku tersenyum, merasa tidak adil kalau Nathan tidak mendapatkan ucapan yang sama.

rena : iyaa
rena : smgt syg <3

"Pak, mampir ke toko bunga di depan itu sebentar, ya?" pintaku sambil memasukkan handphone ke dalam saku.

"Oke."

💨💨💨

"Aku titip anakku sebentar, ya? Kira-kira kami pulang dua hari lagi."

"Iya, santai saja, kak."

Aku masuk ke dalam rumah Paman selagi Ayah dan Ibu berbincang dengannya. Katanya mereka hendak menghadiri acara pernikahan kakak dari Ibu di luar kota.

"Kenapa aku nggak boleh ikut?" gumamku entah untuk yang ke berapa kalinya lalu tersadar akan jawabannya.

Iya, aku kan bukan anak mereka.

"Ayah tinggal dulu ya, Ata. Jangan nakal."

Aku menoleh lalu melambaikan tangan dengan senyum yang sudah terbiasa diukir tanpa makna. Ibu melambaikan tangannya lalu mereka berlalu.

"Ata kelas berapa?" tanya Paman sambil menutup pintu depan.

"Kelas delapan."

"Itu berarti kelas dua SMP, ya?"

Aku mengangguk sambil tetap melihat-lihat ruang tamu Paman yang belum pernah kudatangi. Ada banyak pigura foto di rak-rak yang terpajang rapi, membuatku penasaran siapa saja yang ada di dalamnya.

Aku mengambil satu foto. Terlihat suasana kelulusan SMA zaman dulu. Ada tiga orang di dalamnya. Lelaki di ujung, kuyakini itu Ayah karena wajahnya tidak terlalu berbeda. Paman ada di ujung satunya, tersenyum lebar sambil mengangkat sebuah buku. Dan di tengah, ada seorang perempuan yang tidak aku ketahui siapa.

"Sahabat Ayah dulu?" gumamku menebak-nebak lalu membalik pigura itu sebelum terkesiap.

Kenangan
Lulus SMA / 29 Maret 19XX
Henry Adiwijaya
Herman Adiwijaya
Athaya Dewi Pricilla

"Ata! Kamu belum makan, kan? Kemari, Paman sudah memasak makan siang."

Aku meletakkan pigura tadi ke tempatnya lalu bergegas ke ruang makan. Karena memang sudah lapar, aku langsung makan dalam diam. Sesekali juga berpikir apakah aku harus menanyakannya.

"Paman," panggilku akhirnya.

"Ya?"

"Paman kenal," Aku meneguk ludahku sebentar. "Athaya Dewi Pricilla?"

"Athaya? Itu kan, sahabat Ayahmu dulu. Dia cerita kepadamu?" jawab Paman langsung dengan melebarkan matanya, tampak terkejut. Aku mengangguk berbohong.

Berarti Paman nggak tau kalo aku anak Bunda. Kalo tau, dia nggak mungkin mau bahas begini, batinku menebak-nebak.

"Dia di mana sekarang?" tanyaku menyembunyikan rasa penasaran yang berlebihan.

"Di mana?" ulang Paman lalu meneguk airnya. "Ayahmu tidak menceritakannya?"

"T-tidak," jawabku terbata, menyiapkan mental dengan jawaban Paman.

Paman tampak menghela nafas lalu berdiri.

"Kamu sudah selesai makan, kan? Ayo, ikut Paman."

Aku menurut, mengikuti langkah kaki Paman ke garasi, masuk ke dalam mobil, lalu melamun di sepanjang perjalanan.

Pikiranku semakin merajalela. Sebenarnya Paman mau membawaku ke mana? Apakah ke tempat Bunda? Apakah akhirnya aku bisa bertemu Bunda setelah dua tahun aku membayangkannya setiap malam?

Setengah hatiku terasa bersemangat, dan setengah lagi takut jika harapanku tak sesuai dengan kenyataan.

"Kita sampai."

Aku melihat sekeliling, mengharapkan ada rumah cantik yang sederhana dikelilingi pot tanaman yang menyegarkan, tempat Bunda tinggal selama ini.

Namun, tidak.

"Kenapa, kita ke sini?" Aku meneguk ludah lalu menoleh ke arah Paman dengan takut-takut.

Paman melihatku sejenak lalu tersenyum miris sambil menghela nafas.

"Paman cukup kaget mendengar Ayahmu mau menceritakan tentang Athaya kepadamu, karena selama ini dia selalu tidak suka jika ada orang yang menyebut namanya."

"K-kenapa?" tanyaku terbata.

Telunjuk Paman menunjuk ke satu arah, membuatku menoleh ke arah tunjukkannya.

"Karena Athaya sudah meninggal."

💨💨💨

when you're looking for something for almost two years, but that "thing" is actually has been gone for a long time and you're ended up with nothing.

💔💔

aku ngetiknya nyesek parah si, smoga aja dpt feelnya ಥ‿ಥ

voment jgn lupaa<33

*up setiap sen, rab, jum

WiFi [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang